Kasus Rawagede (Pengadilan Den Haag, Perdata, 354119/HA ZA 09-4171)

Kalau sampai para penasehat hukum Presiden SBY mendengar kabar ini, pasti dia akan terkejut setengah mati. Negara (pemerintah) diperintahkan hakim untuk membayar ganti rugi? Logika apa itu? Logika seperti itu jelas tidak sampai di nalar mereka, paling tidak kalau kita berkaca dari alasan batalnya kunjungan SBY ke Belanda akhir tahun lalu.

Tapi kenyataannya di Belanda, toh seperti itu, pemerintah tak bisa memberikan jaminan bahwa pendapat atau kemauannya dapat mengikat pengadilan. Begitu setidaknya esensi pertama yang bisa kita baca dari putusan Pengadilan Den Haag dalam perkara perdata yang mengabulkan gugatan ganti rugi korban pembantaian Rawagede terhadap pemerintah Belanda (perkara nomor 354119/HA ZA 09-4171). Pengadilan menyatakan pemerintah salah, bukan hal yang luar biasa. Meskipun, harus diakui, sebagaimana diungkapkan oleh pengacara para korban, di Belanda sekalipun mempermasalahkan pelanggaran hukum pada masa kolonial ke pengadilan bukanlah hal yang mudah.

Tapi mari kita kesampingkan dulu perasaan-perasaan itu, untuk melihat lebih jauh apa isi dari putusan Pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede.

Pertama-tama, Pengadilan berangkat dari fakta sejarah bahwa Indonesia (d/h Hindia Belanda) pada dasarnya merupakan bagian dari Kerajaan Belanda sampai tahun 1949. Bahwa Indonesia dinyatakan merdeka oleh Soekarno-Hatta pada tahun 1945, pada awalnya tidak diakui oleh pemerintah Belanda. Peristiwa Rawagede ini terjadi pada bulan Desember 1947, yaitu ketika tentara Belanda menembak mati para penduduk Rawagede tanpa ada prosedur hukum sama sekali, di mana korban (salah satu penggugat) saat itu juga ikut terluka.

Pada bulan Januari 1948 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa tindakan tentara Belanda di Rawagede “deliberate and ruthless”. Di Belanda sendiri, pada bulan Juli 1948 terjadi surat menyurat antara komandan tentara Belanda dengan pihak penuntut yang pada intinya menyimpulkan bahwa penuntutan terhadap para tersangka kasus Rawagede dihentikan. Pada tahun 1969, setelah perdebatan di parlemen, terungkap sikap pemerintah Belanda yang menegaskan bahwa pemerintah Belanda tetap akan menghentikan penuntutan pidana karena dalam banyak perkara penuntutan sudah tidak mungkin dilakukan, karena keterbatasan kelengkapan alat bukti, atau kalaupun ada, deliknya sendiri sudah kadaluwarsa.

Pada tahun 1995, dalam surat pihak kejaksaan kepada kementerian hukum (pemerintah) Belanda, disimpulkan bahwa benar ada tindak pidana yang dilakukan pada tahun 1947 di Rawagede yang bisa dijerat sebagai tindak pidana militer, serta ketidakpastian apakah kasus ini termasuk kasus yang jangka waktu kadaluwarsanya dihapuskan. Jika, katakanlah, kasus ini tidak kadaluwarsa, kejaksaan beranggapan bahwa tuntutan akan dinyatakan tidak dapat diterima, karena keputusan pemerintah Belanda sendiri pada tahun 1969 (untuk menghentikan penuntutan), putusan sepot (deponering) yang telah dikeluarkan pihak kejaksaan sebelumnya, lamanya waktu dihentikannya tuntutan atas delik pidana terkait, serta kemungkinan adanya komplikasi pemberlakuan peraturan pidana militer (antara peraturan yang berlaku tahun 1945-1950 dengan peraturan yang berlaku saat ini).

Dalam pernyataannya kepada parlemen kemudian, kementerian hukum (pemerintah) Belanda menyatakan bahwa dihapusnya jangka waktu kadaluwarsa kejahatan perang pada tahun 1971, bukan termasuk kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia pada periode 1945-1950. Pada intinya pemerintah Belanda tetap bersikukuh bahwa tindak pidana yang terjadi pada tahun 1947 di Rawagede itu tidak bisa lagi dibawa ke pengadilan.

Pengacara para penggugat mengajukan dalil bahwa negara (secara perdata) bertanggungjawab atas tindakan tentara Belanda di Rawagede dan wajib membayar ganti rugi terhadap para korban Rawagede, baik berdasarkan perbuatan melawan hukum, maupun berdasarkan perikatan moral.

Setidaknya terdapat dua tindakan negara yang menurut pihak penggugat merupakan perbuatan melawan hukum:

  1. Eksekusi itu sendiri, di mana negara seharusnya melindungi warga negaranya sebagaimana termaktub dalam konstitusi dan undang-undang tindak pidana militer, tak terkecuali perlindungan terhadap penduduk Rawagede;
  2. Penghentian penuntutan serta proses terhadap eksekusi yang dilakukan oleh tentara Belanda, di mana negara seharusnya menjamin hak hidup warga negara, termasuk mengambil tindakan untuk melindungi mereka sebagaimana dijamin Pasal 2 Konvensi HAM Eropa.

Selanjutnya pengacara penggugat juga mendalilkan kerugian yang dialami oleh para korban pembantaian Rawagede yang berupa harta kekayaan maupun kerugian immaterial.

Pihak tergugat (negara) dalam hal ini pada prinsipnya berpegang pada dalil bahwa gugatan yang diajukan oleh para penggugat telah kadaluwarsa (lewat lima tahun). Menurut interpretasi tergugat atas putusan Hoge Raad selama ini, ketentuan bahwa jangka waktu kadaluwarsa dapat dikesampingkan pada hal-hal tertentu hanya berlaku setelah diakuinya asas kepatutan dan kepantasan dalam BW baru. Itupun hanya menyangkut kerugian yang tidak bisa ditentukan sebelum jangka kadaluwarsa tersebut lewat. Pertanggungjawaban atas hal yang terjadi 62 tahun lalu dalam kasus ini jelas tidak termasuk dalam gugatan yang dapat dikesampingkan jangka waktu kadaluwarsanya. Lagipula, menurut pihak tergugat lebih lanjut, pada tahun 1966 telah ada perjanjian antara pihak Belanda dan pihak Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan finansial masa lalu.

Pendapat pihak tergugat di atas ditolak oleh pihak pengadilan yang menyatakan bahwa tidak ada batasan bahwa asas kepatutan dan kepantasan hanya berlaku untuk peristiwa hukum dalam lingkup BW baru saja. Juga di bawah pengaturan BW lama, jangka waktu kadaluwarsa dapat dikesampingkan, apabila tidak memenuhi asas kepatutan dan kepantasan (dulu diformulasikan sebagai itikad baik). Karenanya pula, pertanyaan apakah gugatan yang telah kadaluwarsa ini tetap dapat dianggap berlaku atau tidak, harus dengan mempertimbangkan pula fakta-fakta terkait berdasar asas kepatutan dan kepantasan.

Bagaimanapun juga, dalam pendapat akhirnya, pengadilan memutuskan bahwa dilihat dari seriusnya kesalahan yang dilakukan oleh negara, pengadilan berpendapat bahwa jangka waktu kadaluwarsa untuk gugatan atas pertanggungjawaban terkait eksekusi di Rawagede itu tidak memenuhi rasa keadilan, sementara untuk gugatan atas pertanggungjawaban terkait dihentikannya penuntutan jangka waktu kadaluwarsa masih tetap bisa dianggap berlaku. Menurut pendapat Pengadilan Den Haag, begitu fakta mengenai dihentikannya penuntutan terbuka pada tahun 1969, saat itu pula gugatan seharusnya sudah dapat diajukan dan berlaku untuk masa lima tahun. Dengan demikian, gugatan tersebut telah kadaluwarsa.

Perlu dicatat, Pengadilan Den Haag juga membatasi bahwa kerugian yang diderita akibat eksekusi yang dilakukan tanpa proses hukum sama sekali pada tahun 1947 itu, pada dasarnya hanya langsung menyentuh para korban eksekusi dan para janda korban. Kerugian ini tidak menyentuh secara langsung keturunan korban pada generasi selanjutnya.

Karena pengadilan menilai bahwa kadaluwarsa terkait dengan eksekusi yang dilakukan tanpa proses pengadilan pada tahun 1947 tidak memenuhi rasa keadilan, maka bantahan dari pihak tergugat tidak dapat diterima. Pernyataan tergugat bahwa jangka waktu kadaluwarsa harus ditaati karena terkait dengan masalah kepastian hukum, menurut pendapat pengadilan harus dilihat dalam konteks kepentingan yang dilindungi dalam pemberlakuan jangka waktu kadaluwarsa.

Pada dasarnya jangka waktu kadaluwarsa perlu ada untuk melindungi debitur dari tuntutan hukum (tak berdasar) yang lahir di kemudian hari, di mana alat bukti yang dapat mendukung bantahannya telah hilang ditelan waktu sehingga dirinya tidak dapat lagi mempertahankan diri secara memadai terhadap tuntutan hukum tersebut. Dalam hal ini, pemerintah Belanda sendiri telah mengakui terjadinya tindakan, serta pelanggaran hukum dalam tindakan itu, sehingga pemberlakuan jangka waktu kadaluwarsa untuk tetap melindungi posisi hukum pemerintah tidak lagi relevan.

Berdasarkan penilaian pengadilan tersebut di atas, maka Pengadilan Den Haag dalam putusannya menyatakan negara telah melakukan perbuatan melawan hukum dan bertanggungjawab atas itu, serta memerintahkan pembayaran ganti rugi kepada korban pembantaian di Rawagede pada Desember 1947.

————————————————————-

7 Komentar

Filed under Kilas Sejarah, Perdata

7 responses to “Kasus Rawagede (Pengadilan Den Haag, Perdata, 354119/HA ZA 09-4171)

  1. Zainal

    Mantab Bro, Terima kasih banyak, ini dapat memberikan satu pencerahan disini, bagaimana pengadilan harus yang pertama-tama menegakkan keadilan. Sekali lagi terima kasih ulasannya.

    Salam,

    Zainal

  2. Ping-balik: Resume Putusan Kasus Kejahatan HAM di Rawagede « KRUPUKULIT

  3. Ping-balik: Peradilan : Pasca Gugatan Rawagede « Jakarta 45

  4. bro,, putusan rawagede bisa di dawnload tdk?
    butuh untuk sekeripsi ni..

    • nasima

      Bisa dong. Coba klik Di kolom LJN masukkan nomor: BS8793, terus klik “Zoeken”. Putusannya akan keluar. Tapi dalam bahasa Belanda. Kalau mau diterjemahkan secara otomatis, bisa dibuka pakai google chrome, atau salin dan tempel di google translate. Bisa juga langsung cari terjemahannya, dengan memasukkan kata-kata kunci berikut ke mesin pencari: “Terjemahan Vonis BS8793 Tentang Perkara Rawagede”.

  5. Hi everyone, it’s my first visit at this website, and article is actually fruitful for me,
    keep up posting these articles.

  6. Hello, i believe that i saw you visited my web site so i
    came to return the choose?.I am attempting to in finding issues
    to improve my website!I suppose its ok to make use of a few of your concepts!!

Tinggalkan Balasan ke nasima Batalkan balasan