Para hakim menuntut hak-hak kesejahteraan mereka. Dari mulai mengeluarkan ancaman mogok sidang, hingga kunjungan ke beberapa instansi yang dipandang mereka terkait kebijakan tersebut. Dan memang betul. Tak perlu lagi saya bahas di sini untuk mengatakan bahwa tuntutan itu sangat berdasar. Sahabat saya, Arsil, telah membahasnya panjang lebar. Pada kenyataannya, memang pihak pengambil kebijakan terkait jabatan hakim ini telah alpa. Memalukan. Tapi, siapa yang seharusnya mengambil tindakan?
Pada kenyataannya, dalam praktek ketatanegaraan, penentuan gaji hakim, sebagaimana gaji pegawai negeri dan anggota polisi/TNI, ditentukan dengan peraturan presiden. Artinya, pemerintah yang berwenang mengatur hal tersebut. Begitu halnya, kalau kita cermati lobby yang dilakukan oleh para hakim, sepertinya memang pemerintah yang jadi sasaran utama. Tuntutan mereka, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur kesejahteraan hakim secara lebih jelas dan layak.
Namun demikian, setelah reformasi, bukankah sebenarnya kewenangan organisasi dan administrasi pengadilan telah dilimpahkan ke pengadilan sendiri? Dalam bahasa jargon: kebijakan satu atap. Bukankah seharusnya Mahkamah Agung yang mengurusi urusan organisasi dan administrasi pengadilan tersebut?
Bagaimanapun, seperti sudah disebut di atas, dalam praktek ketatanegaraan, penentuan besarnya gaji ditetapkan dalam peraturan presiden. Selain itu, pada prakteknya pula, anggaran negara disusun dan dipersiapkan oleh pemerintah – sebelum kemudian dibahas bersama dengan DPR. Urusan organisasi dan administrasi pengadilan termasuk juga di situ. Pendeknya, mungkin bukan Kementerian Kehakiman yang berperan, tetapi Kementerian Keuangan.
Karena sistem administrasi pemerintahan secara umum juga masih dalam tahap penyempurnaan – apa yang disebut proyek reformasi birokrasi, mau tak mau kebijakan ini menyentuh juga Kementerian Pendayagunaan Negara. Konkritnya, lembaga ini yang menentukan bagaimana persisnya pemberian remunerasi di lingkungan birokrasi. Tak terkecuali, di lingkungan birokrasi pengadilan – meskipun soal remunerasi ini seharusnya dilihat sebagai suatu strategi kebijakan yang bersifat sementara, karena sebenarnya tak lebih dari tunjangan tambahan yang digunakan untuk mendongkrak kinerja dalam masa transisi.
Bagaimanapun, dalam pandangan pihak yang menuntut, remunerasi dianggap sebagai bagian dari struktur gaji. Bagi yang menuntut, entah bagaimana caranya – melalui perombakan struktur gaji atau perubahan pemberian remunerasi, hak mereka harus dipenuhi secara layak.
Pendeknya, kalau ditelusuri dari sisi pihak penanggungjawabnya saja, sebenarnya tidak cukup jelas siapa yang sebenarnya diserahi tugas untuk merumuskan dan mengatur kebijakan terkait organisasi dan administrasi pengadilan ini.
Melihat perkembangan terakhir, telah ada kesepakatan dari beberapa lembaga terkait hal tersebut, yaitu Mahkamah Agung, Komisi Yudisial (mungkin terlibat sebagai lembaga yang bertanggungjawab menjaga martabat hakim), Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, serta Sekretariat Negara (jangan lupa, sudah disebut tadi, urusan gaji hakim ditetapkan dalam peraturan presiden). Kesepakatannya memang belum menyentuh substansi, tapi masalah pertama, yaitu siapa yang harus merumuskan kebijakan itu telah berhasil disepakati. Tim Pengkaji yang mendapat mandat dari kelima lembaga inilah yang ditugaskan untuk merumuskan rekomendasi kebijakannya.
Masalahnya, kemudian, bagaimana cara menentukan besaran gaji hakim? Kalau mau cara paling gampang, tinggal naikkan saja beberapa persen di atas gaji pegawai negeri. Tapi apa dasarnya? Bagaimana menjustifikasi penentuan gaji tersebut, serta kemungkinan fasilitas yang diberikan? Siapa jamin sesudahnya tak akan ada tuntutan lagi dari pegawai pemerintah atau institusi lain? Selain itu, kita kembali menggantungkan struktur jabatan hakim pada sistem birokrasi pegawai negeri – yang mungkin tak jelas juga mengapa itu dulu diberlakukan pada hakim. Apa pekerjaan mereka sama? Jelas tidak.
Kalau lembaga-lembaga tersebut memang benar-benar mau tata kembali urusan organisasi dan administrasi pengadilan, menurut pendapat saya, tak cukup hanya dengan mengkaji besarnya gaji hakim saja. Bahkan, katakanlah, kalau hanya besarnya gaji hakim saja yang kemudian dikaji, sesuai kualifikasi saat ini, maka akan ditemukan struktur sesuai pangkat/golongan pegawai negeri. Tapi apa hubungan antara golongan pegawai itu dengan pekerjaan hakim secara nyata? Mengapa, misalnya, satu hakim golongan IIIA dan hakim golongan IIID beda bayarannya, sedang mereka mengerjakan hal yang sama? Penghargaan dan tanggungjawab adalah dua sisi mata uang yang sama.
Dengan demikian, mau tak mau, harus dilihat pula apa sebenarnya pekerjaan mereka, serta bagaimana seharusnya kategori yang bisa digunakan untuk menggambarkan struktur penggajian yang adil.
Sebagai perbandingan, di Belanda urusan administrasi pengadilan secara umum (kecuali administrasi Hoge Raad) dipegang oleh Raad voor de Rechtspraak (semacam Komisi Yudisial di sini). Secara politik, Raad voor de Rechtspraak ini menjadi semacam jembatan antara kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan eksekutif. Tugasnya, pada prinsipnya, selain mengurusi urusan administrasi, juga menjaga kualitas pengadilan dan menjadi penasehat pemerintah terkait peraturan dan kebijakan mengenai pengadilan.
Saya pikir, tentu tanpa disadari lembaga-lembaga itu sendiri, praktek di Indonesia di mana kelima lembaga negara/pemerintah bertemu dan kemudian membentuk Tim Pengkaji, sebenarnya memperlihatkan adanya kebutuhan, serta penggunaan, institusi yang bisa menjadi jembatan antara kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan eksekutif semacam Raad voor de Rechtspraak itu.
Dalam menjalankan tugasnya untuk mengurusi urusan administrasi pengadilan, Raad voor de Rechtspraak menjadi pihak yang pertama kali berhubungan dengan masing-masing pimpinan pengadilan. Di Belanda sendiri (di luar Hoge Raad) terdapat 19 pengadilan tingkat pertama, 5 pengadilan tingkat banding, serta 2 pengadilan tingkat banding khusus. Semuanya, terkait masalah administrasi, didukung oleh Raad voor de Rechtspraak. Dan semuanya, ini beda mendasar dengan praktek di Indonesia, secara administrasi dikelola mandiri oleh pimpinan pengadilan masing-masing. Setiap tiga tahun sekali, ditentukan besarnya komposisi anggaran yang dibutuhkan pengadilan. Bagaimana persisnya?
Pengukuran anggaran pengadilan ditentukan berdasarkan biaya yang dibutuhkan untuk menangani suatu perkara. Jadi, pertama-tama akan disepakati dulu besarnya “harga satuan” untuk setiap perkara. Dalam harga satuan itu tercakup hampir semua aspek penanganan perkara, dari biaya operasional, sampai berapa besarnya biaya personil – meliputi juga besaran gaji hakim yang ditentukan dengan peraturan pemerintah (untuk skala/kategorisasi gaji hakim sendiri telah ditetapkan dalam undang-undang dan pada prinsipnya paling besar di antara pejabat pemerintahan). Hanya untuk penggunaan prasarana (bangunan) saja yang tidak masuk ke dalam hitungan. Masing-masing (pimpinan) pengadilan kemudian mengajukan besarnya harga satuan mereka, serta berdasar perbandingan nilai yang diusulkan, Raad voor de Rechtspraak kemudian menentukan besarnya harga satuan rata-rata.
Setelah itu, harga tersebut baru dirundingkan dengan Kementerian Kehakiman untuk disepakati, serta berlaku selama tiga tahun. Anggaran tahunan yang akan diterima oleh masing-masing pengadilan nantinya, adalah sebesar jumlah perkara masuk pada pengadilan terkait pada tahun tertentu, dikalikan dengan harga satuan yang telah disepakati. Bagaimana kalau pada akhirnya anggaran tersebut kurang? Itu menjadi resiko pengadilan terkait. Bagaimana kalau akhirnya anggaran tersebut berlebih? Pengadilan pada prinsipnya boleh punya kekayaan sendiri, hingga batas tertentu. Di luar batas tersebut, kelebihan harus disetorkan kembali ke kas negara.
Gambaran di atas hanya sebagai bahan perbandingan saja, bagaimana praktek administrasi pengadilan di negara lain. Indonesia tentu memiliki dinamika dan karakter sendiri. Meski demikian, dalam beberapa hal bisa kita lihat – entah sadar entah tidak dan mungkin secara ad-hoc, mengurusi urusan administrasi pengadilan tak lepas dari praktek ketatanegaraan yang secara substansi mirip, seperti pembentukan Tim Pengkaji antar lembaga (terlepas dari jargon satu atap). Untuk penghitungan gaji – yang sebenarnya tak lepas dari sistem administrasi dan kepegawaian secara umum, sebenarnya juga tak akan jauh berbeda dengan praktek-praktek pada lembaga sejenis. Tapi, ingin saya tambahkan juga kehati-hatian sebagai penutup: dengan tetap memperhitungkan kebutuhan dan faktor-faktor terkait yang nyata ada. Karena, misalnya, proses penataan kebijakan satu atap sendiri nampaknya baru akan menggeliat kembali setelah ada tuntutan pemenuhan kesejahteraan dari para hakim…
Ping-balik: HAKIM KOG MOGOK ? (Saya Prihatin) | SEKTIEKAGUNTORO