Masalah Perjanjian Parkir (1)

Dalam blog-nya yang memuat ringkasan putusan-putusan pengadilan, seorang teman saya mengangkat tema hubungan hukum antara pengelola perparkiran dengan pemilik kendaraan. Seperti kita ketahui bersama, saat ini isu tersebut marak dibahas di berbagai media. Pertanyaan utamanya: apakah pengelola parkir harus bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas hilangnya kendaraan yang diparkir di tempatnya?

Dalam kasus semacam ini, pengelola parkir biasanya merujuk pada klausula eksonerasi dalam perjanjian parkir, yaitu bahwa dirinya tidak bertanggungjawab atas terjadinya kerusakan atau kehilangan kendaraan yang diparkir di tempatnya. Namun demikian, tentu jadi pertanyaan, apakah klausula eksonerasi seperti itu juga bisa dianggap sah?

Di sisi lain, gugatan pemilik yang juga mendapat dukungan pendapat umum, mendalilkan bahwa dalam kasus-kasus semacam ini, pengelola parkir seharusnya bertanggungjawab memberikan ganti rugi. Pendapat umum ini, kemungkinan besar, memang hanya berdasarkan simpati. Simpati, tentu sangat subyektif. Artinya, dapatkah kita harapkan pengelola parkir yang jelas-jelas mempunyai pendapat berbeda, dengan sendirinya juga merasakan hal yang sama? Kemungkinan besar tidak. Atau, bisa juga digugat, mengapa simpati yang sama tidak diberikan kepada pengelola parkir?

Hukum, dalam hal ini, seharusnya dapat berfungsi sebagai mekanisme untuk mengurai permasalahan secara obyektif. Dalam hukum pertanggungjawaban, pertanyaan utamanya memang selalu siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas terjadinya suatu kerugian. Tapi bagaimana hukum mengurai masalah pertanggungjawaban tersebut?

Kewajiban hukum antara satu pihak terhadap pihak lain, dapat diturunkan dari adanya hubungan hukum dua belah pihak yang disebut perikatan. Perikatan, menurut KUH Perdata, lahir karena suatu perjanjian, atau karena undang-undang. Lahir karena perjanjian, apabila adanya perikatan itu akibat kehendak para pihak itu sendiri, serta lahir karena undang-undang, apabila adanya perikatan itu akibat berlakunya aturan tertentu, atau perbuatan seseorang (baik yang sah, maupun yang melawan hukum).

Pasal 1233 KUH Perdata: “Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.”

Pasal 1313 KUH Perdata: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Pasal 1352 KUH Perdata: “Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

Pasal 1353 KUH Perdata: “Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, muncul dari suatu perbuatan yang sah atau dari perbuatan yang melanggar hukum.”

Mengapa pada akhirnya seseorang dapat dianggap mempunyai suatu kewajiban tertentu, tentu harus ditelusuri dari keberadaan hubungan hukum semacam itu. Dengan demikian, apabila dalam kasus kehilangan kendaraan di tempat parkir hendak dikaji secara hukum, pertanyaan pertamanya tentu apa hubungan hukum para pihak tersebut.

Apabila hubungan hukum di antara para pihak itu telah jelas diketahui sebagai suatu bentuk perjanjian, baru selanjutnya dapat ditinjau lebih jauh, apakah klausula-klausula yang dinyatakan dalam perjanjian terkait dapat dianggap berlaku. Jika klausula terkait ternyata menghilangkan esensi pokok dari perjanjian itu sendiri, seperti misalnya menutup kewajiban ganti rugi atas terjadinya kehilangan untuk perjanjian jasa penitipan, tentu klausula seperti itu sudah sepatutnya dibatalkan. Untuk menyeimbangkan posisi konsumen dengan pemberi jasa yang dianggap lebih tahu dalam hal perjanjian konsumen, dalam UU Perlindungan Konsumen terdapat ketentuan umum yang mengatur hal tersebut.

Pasal 18 ayat 1 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; […]”

Uraian singkat di atas, merupakan gambaran konstruksi hukum yang saya pikir relevan dengan perjanjian parkir. Namun demikian, apa begitu juga prakteknya?

Di bawah ini ada dua kasus yang bisa kita pelajari. Meski begitu, argumentasi hukum yang digunakan sangat lemah, berupa serangkaian pernyataan yang menyebutkan beberapa pasal, tanpa menjelaskan hubungan satu sama lain, apalagi memproyeksikan fakta terhadap ketentuan dalam pasal-pasal tersebut. Sementara dari sisi substansi, dalam kedua putusan ini, hubungan hukum berupa perjanjian seperti sesuatu yang asing dalam praktek hukum di Indonesia. Lahirnya hak dan kewajiban, seolah hanya bisa didasarkan pada suatu peraturan tertentu saja (dengan mencomot satu dua peraturan KUH Perdata atau UU Perlindungan Konsumen). Patut disyukuri bahwa dalam putusan yang kedua, entah bagaimana, pertanyaan apakah perjanjian parkir harus dianggap sebagai perjanjian penitipan atau perjanjian sewa, toh masih muncul di tingkat kasasi. Meskipun, sayangnya, kemudian disimpulkan tanpa uraian memadai.

1966/K/PDT/2005 (Imelda Wijaya vs. Anugerah Bina Karya)

Dalam perkara pertama, adanya hak penggugat (pemilik kendaraan) didasarkan pada Pasal 4 huruf a dan b, sedang pertanggungjawaban tergugat (pengelola parkir) dikonstruksikan dari Pasal 19 ayat (1). Kemudian, tanpa mengurai lebih lanjut lagi, pembatalan klausula baku didasarkan pada Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum dipahami berdasar “[…] perbuatan Tergugat yang mengijinkan orang lain tanpa Kartu Tanda Parkir P-1 membawa pergi mobil milik Penggugat ke luar dari areal parkir.”

Dengan demikian, pertanggungjawabkan diturunkan begitu saja oleh (kuasa) penggugat dari suatu perbuatan yang faktual dan kongkrit, tanpa didukung dengan bangunan argumentasi berdasarkan ketentuan hukum, mengapa perbuatan itu harus dianggap melawan hukum, apa yang harus digantirugi, bagaimana kerugian itu muncul dan siapa yang menyebabkan, serta siapa yang salah (bandingkan kriteria Pasal 1365 KUH Per: “(1) perbuatan yang melanggar hukum, (2) kerugian, (3) hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan timbulnya kerugian itu, serta (4) kesalahan orang yang berbuat).

Selanjutnya, dalam putusan tersebut tidak diketahui bagaimana hakim mempertimbangkan argumen penggugat. Namun yang jelas, hingga tingkat kasasi, pengadilan menyatakan perbuatan tergugat adalah perbuatan melawan hukum, klausula eksonerasi dalam perjanjian batal demi hukum, serta tergugat wajib membayar ganti rugi.

Tentu bisa dipertanyakan, mengapa penggugat, juga penilaian hakim kemudian, di satu sisi menganggap perlunya pembatalan klausula eksonerasi (artinya mengakui adanya perjanjian), sedangkan di sisi lain mendasarkan hubungan hukum pada perbuatan melawan hukum (mengapa bukan berdasar perjanjian?). Pada tingkat kasasi perkara kedua di bawah ini, bisa kita lihat, bagaimana pemohon kasasi/tergugat (pengelola parkir) juga mempertanyakan hal tersebut.

2078/K/PDT/2009 (Sumito Y. Viansyah vs. Secure Parking)

Dalam perkara ini, pertanggungjawaban juga diturunkan begitu saja dari suatu perbuatan yang faktual dan kongkrit, yaitu “berdasarkan fakta […] penyebab hilangnya sepeda motor milik Pengugat di areal parkir yang dikelola oleh Tergugat jelas disebabkan karena kelalaian, kekurang hati-hatian serta perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai/bawahan Tergugat yang berjaga di pintu keluar”.

Selanjutnya, (kuasa) penggugat, menyebut Pasal 1365 (mungkin untuk menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum), Pasal 1366 (mungkin untuk menunjukkan bahwa kelalaian juga dianggap sebagai perbuatan), serta Pasal 1367 KUH Perdata (mungkin untuk menunjukkan bahwa perusahaan bertanggungjawab atas tindakan pegawainya). Meski menyebutkan ketiga pasal ini, namun tak satupun dari ketiganya diuraikan untuk memproyeksikan fakta terkait. Alih-alih menjelaskan, argumentasi penggugat bahkan langsung melompat ke pertanggungjawaban perusahaan.

Dalam hal ini, pertanggungjawaban (perusahaan) juga diturunkan dari suatu perbuatan yang faktual dan kongkrit, yaitu “melakukan perbuatan melawan hukum dengan masih mencantumkan klausula baku pengalihan tanggungjawab pada karcis parkir”. Ini diikuti dengan sedikit pernyataan, tanpa penjelasan, bahwa perbuatan itu melanggar larangan pencantuman klausula baku yang mengalihkan pertanggungjawaban (Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen).

Mungkin tak banyak yang tahu, dalam gugatan disebutkan pula Ostermann-arrest (HR 20-11-1924), dengan dalih perbuatan melawan hukum bukan hanya perbuatan atau kelalaian yang melanggar hak orang lain, namun juga yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku sendiri. Namun entah apa relevansinya, karena, kalau mau diteliti lebih jauh, putusan Hoge Raad itu sebenarnya menyangkut pertanggungjawaban badan publik yang melakukan perbuatan melawan hukum.

Beda dengan perkara sebelumnya, dalam perkara ini bantahan dari (kuasa) tergugat lebih panjang lebar. Namun, alih-alih langsung mempertanyakan dalil perbuatan melawan hukum, misalnya, (kuasa) tergugat menyimpulkan sendiri bahwa hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah perikatan bebas (Pasal 1359 ayat (2)). Saya sendiri ragu, apa (kuasa) tergugat memang paham apa itu perikatan bebas, serta benar-benar menganggap bahwa hubungan antara pengelola parkir dan pemilik kendaraan adalah pemenuhan kewajiban yang timbul bukan berdasar hukum, namun berdasar kepatutan saja. Karena, selanjutnya, tergugat mengajukan dalih bahwa klausula baku yang dipermasalahkan itu didasarkan pada ketentuan peraturan daerah yang salah satu pasalnya berisi klausula eksonerasi. Berdasar klausula eksonerasi ini, tergugat mendalilkan “atas hilangnya kendaraan dan atau barang- barang yang berada didalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di petak parkir , merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir” (Pasal 36 ayat (2) Perda DKI No. 5/1999). Kalau (kuasa) tergugat benar menganggap tidak ada hubungan hukum, mengapa mendasarkan pendapat pada adanya klausula eksonerasi? Sehubungan dengan keraguan saya tadi, tanpa adanya perjanjian, ini klausula atas apa?

Bagaimanapun, tanpa bisa dilihat apa pertimbangannya, pengadilan mengabulkan gugatan penggugat bahwa telah ada perbuatan melawan hukum yang mewajibkan pembayaran ganti rugi, serta membatalkan klausula eksonerasi. Sedang di tingkat banding, pengadilan tingkat banding pada dasarnya sependapat dengan pengadilan tingkat pertama, namun mengurangi nilai kerugian yang wajib dibayarkan tergugat, serta tidak mengambilalih putusan pengadilan tingkat pertama yang melarang penggunaan klausula eksonerasi. Karena merasa dalilnya tidak dibahas dengan memadai, tergugat mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding.

Di tingkat kasasi, tergugat berdalih bahwa berdasarkan peraturan daerah yang memuat klausula eksonerasi, seharusnya dirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Berbeda dengan pendapat sebelumnya yang mendalilkan perikatan bebas, kali ini tergugat, dengan uraian yang cukup panjang, berpendapat bahwa hubungan hukum di antara mereka adalah perjanjian sewa-menyewa, bukan perjanjian penitipan. Kemudian, disampaikan juga adanya fakta adanya perusakan tempat parkir, sebagai dalih bahwa terdapat daya paksa (overmacht). Selain itu, tergugat kembali menjelaskan bahwa dalam kasus ini tidak ada perbuatan melawan hukum.

Dalam perkara ini, ternyata penggugat di tingkat pertama juga mengajukan permohonan kasasi. Alasannya, pengadilan tingkat banding telah keliru dalam menentukan besarnya ganti rugi, serta mempertanyakan tidak diambilalihnya putusan terkait larangan klausula eksonerasi.

Apa pendapat Mahkamah Agung? Seperti juga sudah dikutip teman saya di blog-nya, Mahkamah Agung hanya menggunakan pertimbangan singkat. Pada intinya, putusan pengadilan tingkat banding telah tepat, yaitu larangan penggunaan klausula baku tak dapat dikabulkan karena “tidak ada kaitan langsung dengan masalah kerugian”, serta hubungan hukum antara pemilik kendaraan dengan pengusaha parkir adalah “Perjanjian Penitipan”, yang jika dihubungkan dengan Pasal-Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata maka Tergugat berkewajiban menanggung kehilangan sepeda motor Penggugat di tempat pengelolaan Tergugat”.

Namun demikian, meski mengandung pertanyaan hukum yang sangat menarik, dalam putusan ini, tidak dijelaskan mengapa perjanjian parkir dianggap sebagai perjanjian penitipan, bukan perjanjian sewa menyewa. Bahkan sedari awal, pengadilan, juga (kuasa) para pihak, tidak sedikitpun mencoba untuk mengkonstruksikan hubungan hukum (perikatan) di antara para pihak, sehingga terjadi tumpang tindih antara konstruksi perjanjian dengan perbuatan melawan hukum.

Jadi, kembali lagi, apa yang sebenarnya bisa kita pelajari dari dua kasus tersebut?

 

8 Komentar

Filed under Perdata

8 responses to “Masalah Perjanjian Parkir (1)

  1. Ping-balik: Hubungan Hukum Antara Pengelola Perparkiran dengan Pemilik Kendaraan Sebagai Perjanjian Penitipan « KRUPUKULIT

  2. Ping-balik: Masalah Perjanjian Parkir (2) | Ars Aequi et Boni

  3. Gatot Kaca

    Akhirnya ada yang membahas masalah ini, setelah mondar-mandir.
    Mas saya mau tanya.
    Pada kasus PT. Avocent Bolaang Mongondow v PT.Logistik Indoraya yang sebenarnya merupakan wanprestasi perjanjian pengangkutan laut, namun tergugat mendasarkan gugatannya pada PMH. Salah satu argumen tergugat adalah “tidak ada ketentuan hukum yang bersifat memaksa/imparatif yang mengatur tuntutan hak atas kelalaian subjek hukum semata-mata dengan dasar gugatan wanprestasi”. Namun sayang tidak ada tanggapan hakim atas uraian tsb.

    Dalam kaitannya thd kasus yang mas jelaskan, bukankah sah-sah saja mendasarkan gugatan pada PMH sejauh unsur 1365 dan 1366 terpenuhi? Karena salah satu unsur “melawan hukum” bukankah “melanggar kewajiban hukum” yang mana kewaijban hukum ini diketahui setelah mengetahui hubungan hukum, baik itu berdasarkan perjanjian maupun tidak. Apalagi kalau hubunga hukumnya “perjanjian penitipan”, kewajiban hukumnya lahir karena undang-undang (1694) bukan perjanjian.
    Terimakasih. Mohon tanggapan dan pencerahannya.

    • nasima

      Terima kasih. Saya senang ada yang baca dan menanyakan hal-hal yang tak terpikirkan oleh saya sendiri sebelumnya. Akan coba saya tanggapi satu-satu poin anda, berdasarkan pengetahuan saya.

      Pertama, argumen tergugat (bukan penggugat?) yang menyatakan bahwa “tidak ada ketentuan hukum yang bersifat memaksa […] dengan dasar gugatan wanprestasi” itu, kalau saya tidak salah memahaminya, jelas tidak sesuai dengan isi KUH Perdata. Wanprestasi secara umum diatur dalam Pasal 1243. Dan itu bersifat memaksa, coba perhatikan kata “diwajibkan” di situ. Terkait dengan syarat adanya kondisi “lalai”, coba dihubungkan dengan Pasal 1236, di mana ganti rugi (meliputi penggantian biaya (pengurusan perkara), kerugian, serta bunga) sudah menjadi wajib, ketika kreditur tidak mampu menyerahkan (kembali) barang yang dititipkan kepadanya.

      Kedua, betul bahwa sah-sah saja untuk mendasarkan gugatan PMH pada Pasal 1365 dan 1366, sejauh unsur-unsurnya terpenuhi. Suatu peristiwa hukum, memang bisa jadi memenuhi wanprestasi, sekaligus PMH. Terkait pertanggungjawaban profesi, situasi seperti ini kerap muncul. Tapi, justru di situ juga yang harus dicermati. Sementara pertanggungjawaban menurut PMH seolah lebih luas cakupan pertanggungjawabannya, namun sebenarnya lebih kompleks dan dari segi pembuktian lebih sulit. Mengapa begitu? Pertama, ketika mendalilkan adanya tindakan melanggar hukum, penggugat mau tidak mau harus menjelaskan hubungan hukumnya dengan tergugat. Dan jika terdapat perjanjian di antara penggugat dan tergugat, tentu harus dijelaskan dulu, bagaimana duduk perkaranya menurut perjanjian yang mereka buat sendiri. Jadi, kalau terkait pertanggungjawaban yang mengalir dari hubungan hukum yang diatur dalam perjanjian antara penggugat dan tergugat, mustahil menggambarkan suatu perbuatan tertentu dan mengapa itu harus dianggap melanggar hukum, tanpa membahas perjanjian yang menjadi dasarnya. Kedua, ada perbedaan dari segi pembuktian antara gugatan ganti rugi berdasar wanprestasi dan PMH. Menurut Pasal 1243, kewajiban ganti rugi karena wanprestasi telah lahir, pada saat suatu perikatan tidak dipenuhi. Bagaimana mengujinya? Tinggal lihat hak dan kewajiban para pihak menurut perjanjian di antara mereka. Terkait penitipan barang, coba lihat Pasal 1714, sudah jelas kewajiban penerima titipan untuk mengembalikan barang yang dititipkan. Jadi, ketika barang tidak dikembalikan, penggugat tinggal mendasarkan gugatannya pada Pasal 1243 jo. 1236. Apa buktinya? Cukup menunjukkan bahwa barang itu tidak kembali. Apakah itu karena kesalahan tergugat atau bukan, akhirnya menjadi beban pembuktian tergugat, coba anda lihat Pasal 1244 dan 1245. Sementara itu, apabila gugatan berdasarkan PMH yang hendak digunakan, maka kewajiban penggugatlah untuk menjelaskan dan membuktikan adanya kesalahan tergugat, serta hubungan sebab akibat dengan terjadinya kerugian. Apa tidak lebih repot jadinya?

      Nah, kalau kita cermati praktek penanganan beberapa kasus perjanjian parkir, setahu saya (bisa salah), permasalahan wanprestasi dan PMH dicampuradukkan begitu saja, sehingga tidak terlihat lagi dasar berpikir seperti apa yang sebenarnya digunakan. Tentu, itikad baik yang didasarkan rasa simpati pada pihak yang dianggap lemah itu patut dihargai, tapi pertanyaannya, buat apa ada sistem peraturan atau yurisprudensi?

      Ketiga, terkait dengan penitipan barang. Apakah itu bukan perikatan yang lahir karena undang-undang? Untuk diketahui, perikatan yang lahir karena undang-undang adalah peristiwa hukum yang digambarkan dalam Bab III Buku III KUH Perdata, yaitu mewakili urusan orang lain (Pasal 1354), pembayaran utang yang tidak diwajibkan (Pasal 1359, dst.), PMH (Pasal 1365, dst.). Sementara itu, isi Bab V-XVIII KUH Perdata itu adalah bentuk-bentuk perjanjian khusus, yaitu perjanjian-perjanjian dengan ruang lingkup tertentu yang telah dibatasi dengan undang-undang. Beberapa telah mengalami perubahan, karena lahirnya ketentuan undang-undang baru, misalnya soal perjanjian kerja yang kemudian diatur dalam UU No. 13/2003. Entah yang membuat juga mempertimbangkan pengembangan dari aturan yang ada sebelumnya, atau asal bikin baru, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, soal penitipan barang masih seperti yang ada dalam KUH Perdata itu.

      Semoga bermanfaat.

      • gatot kaca

        Wah makais mas!
        Jelas sangat membantu!

        Saya sih juga bertanya-tanya apa latar belakang hakim masih mengabulkan gugaan PMH padahal jelas-jelas para pihak ada hubungan kontraktual. Di negara common law, pengadilan pasti langsung meolak gugatan tort apabila para pihak hubungannya didasari kontrak.

        Kok saya ngeliatnya, pengadilan yang mengabulkan gugatan PMH padahal ada hubungan perjanjian atau kontrak antara para pihak malah terkesan seperti upaya hakim mengenyampikan suatu perjanjian atau kontrak sah yang menjadi sumber hak-kewajiban mereka beserta penyelesaian sengketa yang seharusnya:wanprestasi

  4. eko

    Terima kasih atas tulisannya mas menambah wawasan saya ( yang buta hukum ) yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan jasa pengelolaan parkir. Mas bicara UU Perlindungan Konsumen dengan segala penafsirannya menurut saya masayarakat kita telah salah kaprah menafsirkan UU Perlindungan Konsumen untuk memuaskan keinginannya karena sesungguhnya bila kita mau melihat tidak semua kasus bisa digeneralisasi. Mas saya mau minta masukan dari sudut pandang hukum ada kejadian yang pernah saya tangani dimana ada laporan pengunjung yang merasa kehilangan barang-barang dari dalam kendaraannya, setelah kami lakukan pengecekan memang ada perusakan pada rumah kunci pintu sebagai bentuk tanggung jawab kami membantu mendampingi korban ke kantor polisi membuat BAP kehilangan, biaya parkirnya kami bebaskan dan kerusakan pada rumah kuncinya kami perbaiki diganti yang baru tetapi yang bersangkutan tetap meminta ganti kerugian atas kehilangan barang yang ada didalam kendaraanya berupa tas, buku-buku, camera poket Canon, charger BB< KArtu NPWP yang menurut penilaiannya semuanya senilai Rp. 5.000.000,- ( karena mengacu pada UU Perlindungan konsumen ) dan pelanggan menuntut bila tidak dipenuhi akan melanjutkan ke pengadilan perdata yang keberadaan atas barang tersebut didalam mobil pun kami tidak tahu bagaimana membuktikan bahwa isi tas tersebut berisi barang-barang yang disebutkan itupun saat BAP selesai dibuat kemudian BAP diralat ditambahkan kembali dengan tambahan camera pocket? lalu bagaimana dengan pembuktian terbalik karena petugas pun tidak mengetahui barang bawaan pelanggan dan disimpan dimana? dan kami tidak tahu apakah memang barang-barang itu memang ada didalam kendaraannya saat parkir karena tidak ada saksi yang melihat , Apakah tuntutan ganti rugi atas barang-barang yang ada didalam kendaraan ini bisa dikatakan sah demi hukum dan pengelola tempat parkir wajib mengganti atas kerugian tersebut?Atau sebaliknya kami bisa mengajukan tuntutan balik demi hukum sebagai pidana pemerasan ( becanda mas ) karena menurut saya ada unsur kelalaian pelanggan yang tidak mau mengikuti ( tidak mau membaca )himbauan pengelola parkir untuk tidak meninggalkan barang berharga dalam kendaraannya dan nilainya sebenarnya dibawah nilai yang disebutkan diatas. Sebagai tanggung jawab pengelola parkir telah berusaha melaksanakan kewajibannya semaksimal mungkin seperti memasang rambu=rambu di tempat yang strategis dan mudah dilihat dengan tulisan yang mudah dibaca " Mohon tidak meninggalkan barang berharga dalam kendaraan", "Pastikan kendaraan terkunci dengan benar", klausal ( kETENTUAN UMUm SAAT PARKIR ) juga ditempat-tempat yang mudah terlihat dan strategis sesuai isi yang terkandung dari UU perlindungan konsumen yang mengatur kewajiban pemilik tempat usaha. membantu melakukan proses cheklist fisik kendaraan, menunggui kendaraan yang tidak terkunci dengan benar ( kaca maupun pintu mobilnya) bahkan ditutup dengan cover kendaraan, mengembalikan barang-barang yang ditemui oleh petugas parkir kepada pemiliknya. terima kasih mas atas perhatiannya. hitam memang harus bilang hitam, putih harus bilang putih karena dasar hukum adalah KEBENARAN dan KEBEnaran diatas segala-galanya. MAju terus mas memberi pencerahan hukum atas masyarakat kita yang tercinta ini.

    • nasima

      Terima kasih juga atas apresiasinya. Saya coba jawab pertanyaan anda, dengan catatan ini opini pribadi saya berdasar pengetahuan saya, artinya saya tidak menjamin bahwa pengadilan juga akan berpendapat serupa. Jadi, pertanyaannya, bagaimana dengan hilangnya barang berharga dalam kendaraan yang diparkir? Apakah harus dianggap sebagai tanggungjawab pengelola parkir? Untuk menjawabnya, sesuai dengan argumen saya sebelumnya, bahwa yang menjadikan pengelola parkir bertanggungjawab adalah adanya perjanjian penitipan (Pasal 1694 KUH Perdata). Di mana di dalam perjanjian tersebut, tidak bisa dikecualikan unsur utamanya (Pasal 1254 KUH Perdata), yaitu menjaga (keutuhan) barang yang dititipkan dan mengembalikannya seperti semula (Pasal 1714 dan 1715 KUH Perdata). Seperti sudah saya tuliskan sebelumnya, ini membuat pengelola parkir tidak bisa mengecualikan pertanggungjawaban atas hilangnya kendaraan. Tapi, pertanyaannya kemudian, apa saja yang mencakup definisi barang yang dititipkan? Hanya kendaraannya saja, atau juga termasuk semua barang-barang berharga yang ada di dalamnya? Menurut pendapat saya, sekalipun pada dasarnya tertutup pengecualian pertanggungjawaban atas hilangnya kendaraan yang merupakan esensi utama dari perjanjian tersebut, namun tidak demikian dengan pertanggungjawaban atas hilangnya barang-barang berharga yang berada dalam kendaraan itu. Seperti kita ketahui, dalam hal hilangnya kendaraan, pada prinsipnya beban pembuktian telah dibalik (artinya pengelola dianggap bertanggungjawab, kecuali dapat membuktikan sebaliknya), tapi harus diingat bahwa itu sehubungan dengan kendaraan yang diparkirkan. Bagaimana dengan barang-barang di dalam (yang melekat pada) kendaraan itu? Saya pikir itu sudah di luar ruang lingkup perjanjian penitipan kendaraan, karena lazimnya tempat parkir, meski dapat dianggap sebagai tempat penitipan kendaraan, bukan tempat penitipan barang-barang berharga di dalam kendaraan tersebut (bahkan di beberapa tempat parkir motor, biasanya terdapat tempat penitipan helm yang terpisah). Dalam kasus yang anda sebutkan, sudah jelas sebagian besarnya menyangkut barang-barang yang pada umumnya tidak terdapat dalam kendaraan. Mungkin akan beda ceritanya kalau terkait barang-barang yang pada umumnya menjadi bagian dari kendaraan. Kerusakan yang terjadi pada mobil (seperti rusaknya rumah kunci), mungkin masih bisa dianggap menjadi tanggungjawab pengelola. Selain itu, terkait besarnya pertanggungjawaban yang disandang oleh pengelola, memang tidaklah adil apabila penitipan itu terjadi tanpa pengelola pernah tahu apa yang dititipkan kepadanya, kecuali kendaraan itu sendiri. Peringatan yang diberikan oleh pengelola parkir, dengan catatan dapat langsung diketahui oleh pemilik kendaraan, seharusnya juga harus dianggap cukup patut sebagai batasan (klausula) ruang lingkup tanggungjawab pengelola parkir. Singkatnya, apabila gugatan didasarkan pada terjadinya wanprestasi perjanjian penitipan (Pasal 1714 dan 1715 KUH Perdata), maka itu hanya meliputi kendaraan yang dititipkan, serta tidak meliputi barang-barang berharga yang ada dalam kendaraan tersebut.

  5. Ping-balik: Tahun 2012: Perkara Narkotika, Ganti Rugi Pengelola Parkir, dan Kecelakaan Maut | Ars Aequi et Boni

Tinggalkan Balasan ke Gatot Kaca Batalkan balasan