Perkembangan Terkini Hukum Keimigrasian: Ketentuan Penjamin dalam PP No. 31/2013

Sebagaimana pernah saya tuliskan dalam kolom Hukumonline ini, lebih kurang dua tahun yang lalu, telah ada perkembangan yang cukup progresif terkait kebijakan keimigrasian di Indonesia, dengan berlakunya UU No. 6/2011 (Keimigrasian). Meskipun inisiatif awalnya ditujukan untuk memperketat arus keluar masuk orang asing dalam rangka mengantisipasi penyelundupan manusia, dalam perkembangannya kemudian rancangan undang-undang yang dibahas juga menerima aspirasi yang disuarakan oleh beberapa organisasi pemerhati hak keluarga perkawinan campuran di Indonesia. Ketika itu, organisasi-organisasi tersebut berharap agar pembuat undang-undang memberikan status hukum yang jelas kepada anggota keluarga yang berkewarganegaraan asing (WNA), yaitu berupa izin tinggal tetap/permanen dalam arti sebenarnya, serta diberikannya jaminan kebebasan anggota keluarga tersebut untuk mencari nafkah di Indonesia.

Perlu diketahui, berbeda dengan pengaturan di negeri-negeri beradab pada umumnya yang jelas membedakan izin tinggal berdasar alasan ekonomi dengan alasan kemanusiaan, UU No. 9/1992 (Keimigrasian) tidak membedakan syarat yang berlaku bagi anggota keluarga warga negara asing yang bertujuan menyatukan diri dengan keluarganya, dengan tenaga kerja asing yang tinggal di Indonesia dengan tujuan bekerja. Akibatnya, tanpa justifikasi yang mendasar – selain alasan perlindungan pasar tenaga kerja, anggota keluarga warga negara asing tersebut dirampas haknya untuk mencari nafkah. Masalah ini sebenarnya merupakan bagian dari kelemahan pengaturan ketika itu yang tidak mengatur secara rinci dasar dan persyaratan mendapatkan izin tinggal di dalam undang-undang. Selain itu, karena UU No. 9/1992 tidak mengatur izin tinggal tetap sebagai hak menetap dalam arti sebenarnya, nasib pasangan  WNA akan terkatung-katung, jika di kemudian hari pasangan WNI-nya meninggal. Hal yang sama dapat juga terjadi pada anak-anak dari keluarga perkawinan campuran. Kemudian, sebagai konsekuensi dari UU No. 12/2006 (Kewarganegaraan), anak-anak berkewarganegaraan ganda (terbatas) yang lahir dan besar di Indonesia juga akan mengalami kesulitan untuk tinggal dan menetap, ketika kewarganegaraan ganda tersebut berakhir dan mereka menjadi WNA. Padahal, sudah sepatutnya pembuat kebijakan mempertimbangkan hubungan sosial ekonomi yang mengakar antara warga negara asing dengan negeri tempat tinggalnya, setelah masa tinggal yang lama.

Kalau dibandingkan dengan pengaturan di negeri-negeri beradab pada umumnya, setelah masa tinggal tertentu – bisa dua hingga lima atau sepuluh tahun, warga negara asing akan diberi kesempatan untuk mendapatkan izin tinggal menetap atau biasa disebut “permanent residence” atau “denizenship” (perkembangan terbaru pengaturan di Eropa, misalnya, dapat anda lihat di sini).

Bagaimanapun juga, pembuat undang-undang bukannya tidak mendengar dan menerima aspirasi beberapa organisasi pemerhati perkawinan campuran ini. Bahkan, baik Menteri Hukum dan HAM ketika itu, Patrialis Akbar, maupun beberapa anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU Keimigrasian, seperti Eva Kusuma Sundari, Fahri Hamzah, atau Priyo Budi Santoso, dengan bangga menyatakan bahwa produk kebijakan keimigrasian yang baru mereka susun memang ditujukan untuk menjamin nilai kemanusiaan (HAM). Dengan didasari pemikiran bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus dijunjung tinggi, serta setelah melalui studi perbandingan dengan beberapa negeri beradab lainnya, di dalam UU No. 6/2011 dimuat aturan-aturan yang secara praktis ditujukan untuk memberikan jaminan lebih baik bagi kehidupan pasangan perkawinan campuran di Indonesia.

Beberapa perubahan penting yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut:

(1)   pengakuan izin tinggal tetap (ITAP) yang setelah lima tahun dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang tak terbatas (Pasal 59);

(2)   kesempatan mendapatkan izin tinggal tetap bagi keluarga perkawinan campuran setelah usia perkawinan lebih dari dua tahun (Pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 54 ayat (1) huruf b)

(3)   dijaminnya keberlakuan izin tinggal tetap warga negara asing (WNA) yang telah menikah dengan WNI selama sepuluh tahun atau lebih (Pasal 62 ayat (2) huruf g); dan

(4)   diberikannya jaminan bagi anggota keluarga perkawinan campuran melakukan pekerjaan atau usaha di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya (Pasal 61).

Dua tahun yang lalu, meskipun saya menulis tentang angin segar perubahan (sebagaimana dapat dirasakan dari senyuman yang tersungging di wajah para perwakilan organisasi perkawinan campuran, sebagian besar ibu-ibu, yang saat itu menyambut terjadinya “perubahan monumental” tersebut di gedung DPR), setelah mendengar pernyataan terbuka pembuat kebijakan di Indonesia tentang komitmen mereka pada aspek-aspek kemanusian yang tertuang dalam UU No. 6/2011 sebagaimana tersebut di atas, terselip juga sedikit kekhawatiran di hati kecil saya. Bagaimanapun juga, angin segar itu berhembus dari Senayan, sehingga masih jadi pertanyaan besar ketika itu, bagaimana Kuningan – yang notabene telah menyandang titel Hak Asasi Manusia (HAM) sejak tahun 1999, nantinya juga akan melaksanakan “perubahan monumental” tersebut. Adanya perlawanan terhadap perubahan yang dirancang dalam proses pembahasan ketika itu, pernah disampaikan oleh seorang anggota dewan, Eva Kusuma Sundari, antara lain dengan munculnya ketentuan tentang penjamin (Pasal 63). Namun, ketentuan itu sendiri masih mengundang tanda tanya, sehingga belum bisa dikatakan telah membatalkan jaminan-jaminan yang telah diberikan.

Di negeri-negeri beradab pada umumnya, wajar saja ada ketentuan penjamin (mempertimbangkan keterbatasan WNA di awal masa tinggalnya). Namun, sebagaimana lazimnya suatu perintah atau norma (kewajiban), selain perlu ada definisi/ruang lingkup pengaturan yang tegas dan jelas, seharusnya diatur pula bentuk konsekuensinya, baik itu syarat untuk mendapatkan sesuatu (sehingga jika tidak dipenuhi, maka permohonan tidak dikabulkan), atau suatu sanksi (sehingga jika tidak dipenuhi, maka izin yang telah diberikan batal).

Sementara itu, pengaturan mengenai keharusan penjamin yang termuat dalam UU No. 6/2011 ternyata tak lebih dari suatu pernyataan saja, atau tidak dapat dibaca sebagai sebuah norma hukum, karena tidak mengatur adanya akibat hukum tertentu (coba bandingkan ketentuan Pasal 63 ini dengan pengaturan syarat untuk memperpanjang izin tinggal tetap (ITAP) dalam Pasal 59, mendapatkan ITAP dalam Pasal 60, atau dasar pembatalan ITAP yang diatur dalam Pasal 62). Sehingga, wajar juga apabila peraturan dengan tujuan, rumusan, serta daya guna yang tidak jelas tersebut, pada akhirnya menimbulkan permasalahan mendasar dalam pelaksanaannya (tentu bukan tanpa alasan kalau kejelasan tujuan/rumusan dan kedayagunaan disebut secara tegas sebagai prinsip-prinsip pembentukan peraturan yang baik dalam Pasal 5 UU No. 12/2011). Bagaimana persisnya komplikasi yang timbul, akan saya uraikan lebih lanjut di bawah ini.

Perkembangan terkini

Pertama-tama, perlu dicermati dulu sebuah perkembangan menarik dalam komunitas keluarga perkawinan campuran, pasca berlakunya UU No. 6/2011 tersebut. Berlakunya kebijakan yang disusun dengan melibatkan pemangku kepentingannya sendiri, berhasil melahirkan inisiatif dari  mereka (beberapa anggota organisasi perkawinan campuran). Atas inisiatif sendiri, mereka buka sebuah forum diskusi di salah satu media sosial dengan jumlah anggota tak kurang dari 4 ribu orang. Jika anda amati percakapan dan perdebatan yang berkembang dalam forum tersebut, akan anda temui besarnya kesadaran dari para pelaku perkawinan campuran untuk mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru. Bahkan, jika diperlukan, mereka tak segan-segan untuk menyampaikannya kepada pejabat Kantor Imigrasi (Kanim) di daerah tempat tinggalnya. Berbagai program penyuluhan juga dirancang bersama dengan instansi terkait. Jadi, meski tanpa adanya advokat yang semestinya menjalankan peran pendampingan (saya yakin peran advokat ini sebenarnya tak tergantikan), kesadaran akan ditegakkannya aturan main mulai menguat, justru dari obyek hukumnya sendiri. Memang, bisa jadi mereka melakukannya demi kepentingan mereka sendiri juga, tapi yang perlu digarisbawahi: kesadaran warga ini merupakan modal penting bagi tegaknya negara hukum. Ada kesadaran untuk mematuhi hukum. Dan tidak melulu terkait masalah keimigrasian. Anggota forum tersebut bahkan mendiskusikan bagaimana cara membayar pajak yang benar! Bukankah fenomena ini menunjukkan adanya suatu inisiatif dari bawah yang patut disyukuri demi terwujudnya negara hukum di Indonesia?

Kesadaran tersebut tentu sejalan dengan program Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, yang tengah menggalakkan pemberantasan korupsi dan usaha peningkatan pelayanan administrasi, antara lain, di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi. Bagaimanapun, iklim yang kondusif bagi terwujudnya negara hukum tidak hanya dapat bersandar pada kesadaran hukum obyeknya saja, namun juga harus didukung dengan komitmen institusi pelaksananya. Adanya kejelasan aturan main dan pihak yang mendorong diberlakukannya aturan main itu satu hal, serta itu bukan hal yang tidak penting. Akan tetapi, pelaksana aturannya sendiri juga seharusnya memahami peraturan yang berlaku, berikut dampak yang mungkin ditimbulkannya (terkait hal ini, saya yakin betapa pentingnya peran kekuasaan kehakiman yang mandiri dan tak berpihak, untuk memastikan ketepatan penafsiran atau tindakan intitusi pelaksana itu).

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, salah satu perubahan penting dalam UU No. 6/2011 adalah diakuinya izin tinggal tetap yang berlaku tidak terbatas, dengan cara memperpanjang ITAP yang sebelumnya berlaku lima tahun (Pasal 59). ITAP tak terbatas tersebut akan berakhir, jika pemegangnya: (1) meninggalkan wilayah Indonesia lebih dari satu tahun atau tidak bermaksud lagi masuk kembali, (2) tidak memperpanjang ITAP-nya, (3) menjadi WNI, (4) izinnya dibatalkan, (5) dideportasi, atau (6) meninggal dunia (Pasal 62 ayat (1)). Sementara itu, ITAP dibatalkan, jika pemegangnya: (1) melakukan tindak pidana terhadap negara, (2) melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan negara, (3) melanggar pernyataan integrasi, (4) mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin kerja, (5) memberikan informasi yang tidak benar dalam pengajuan permohonan ITAP, (6) dikenai tindakan administratif keimigrasian, dan/atau (7) cerai dengan pasangan WNI-nya, sebelum perkawinan berusia sepuluh tahun (Pasal 62 ayat (2)).

Dengan konsep izin tinggal tetap yang berlaku untuk jangka waktu tidak terbatas seperti inilah, hukum Indonesia berdiri sejajar dengan hukum di negeri-negeri beradab pada umumnya yang juga mengakui konsep “permanent residence”. Gambaran paling jelas dapat dilihat dalam komunitas kaum perantau atau diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Komunitas yang sebagian besar (atau mungkin semuanya) WNI tersebut tinggal dan menetap di negeri-negeri asing yang menjamin bukan saja hak mereka untuk menetap dalam jangka waktu tak terbatas, tetapi juga hak untuk bekerja, dan di beberapa negara bahkan hak untuk memiliki rumah/tanah (misalnya di Amerika, Inggris, Kanada, atau Belanda). Izin tinggal untuk menetap di atas, pada umumnya hanya dapat dibatalkan karena pemegangnya melakukan tindak kejahatan berat atau tidak memenuhi kewajiban tinggal dalam jangka waktu tertentu, serta hak politik pemegangnya dapat dibatasi. Sedikit banyak, begitu pulalah ketentuan-ketentuan perubahan dalam UU No. 6/2011 yang dimaksudkan pembuatnya untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Namun, seperti sudah disebutkan sebelumnya pula, pada saat penyusunan ternyata terselip ketentuan mengenai penjamin yang kemudian mengganjal pelaksanaannya. Ketentuan mengenai penjamin (Pasal 63) yang tidak memuat konsekuensi hukum tertentu, sehingga tidak jelas berlaku sebagai syarat atau dasar pembatalan itu, pada akhirnya menimbulkan perdebatan panjang, serta membuat institusi pelaksananya seakan-akan bebas menentukan tafsirnya sendiri.

Kalau kita tafsirkan secara teleologis atau sesuai dengan maksud keberadaannya, aturan tersebut sebenarnya berlaku sebagai syarat (ketika permohonan diajukan). Dalam Pasal 63 itu disebutkan bahwa ketentuan mengenai penjamin dimaksudkan untuk memastikan adanya pihak yang “bertanggungjawab atas keberadaan dan kegiatan orang asing yang dijaminnya” (ayat 2), selain untuk “melaporkan perubahan sipil, status keimigrasian, dan perubahan alamat” (ayat 2), serta “membayar biaya deportasi” (ayat 3). Ketentuan tentang penjamin ini sebenarnya lazim, kalau itu dipahami sebagai penjamin pada saat izin tinggal diajukan, di mana WNA bersangkutan belum menetap di tempat tinggal barunya itu, serta belum dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Artinya, dalam proses permohonan pemberian izin tinggal, wajar saja dipersyaratkan adanya pihak yang menjamin WNA tersebut, dalam rangka menjembatani perolehan status hukum, serta menanggung kebutuhan hidupnya sementara waktu. Namun, jika WNA tersebut telah tinggal sekian lama waktu dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri di tempat tinggal barunya itu, tentu tak ada lagi alasan untuk mewajibkan dirinya memiliki penjamin. Kalaupun biaya deportasi memang diperlukan, sebenarnya bisa saja dibayarkan sekali di awal masa tinggal. Sedang terkait pelaporan perubahan sipil, status keimigrasian, dan perubahan alamat, bahkan Pasal 71 UU No. 6/2011 mengatur bahwa pada prinsipnya wajib dilakukan oleh WNA itu sendiri. Jadi, cukup jelas bahwa undang-undang mengakui bahwa pemegang izin tinggal mampu melakukan itu semua sendiri. Pertanyaannya, apa begitu juga pemahaman pemerintah?

Ketentuan mengenai penjamin dalam PP No. 31/2013: syarat permohonan atau dasar kebatalan ITAP?

Perlu digarisbawahi, terkait izin tinggal anggota keluarga perkawinan campuran, ketentuan mengenai penjamin ini menjadi fokus utama pemerintah. Kalau kita buka informasi yang tersedia bagi pelaku perkawinan campuran dalam situs web Direktorat Jenderal Imigrasi, misalnya, hanya poin-poin mengenai penjamin tersebut yang diumumkan sehubungan dengan izin tinggal keluarga perkawinan campuran. Padahal, seperti telah dikemukakan sebelumnya, justru ketentuan mengenai penjamin dalam UU No. 6/2011 ini yang masih ambigu, karena tidak jelas diberlakukan sebagai syarat permohonan atau dasar kebatalan ITAP. Lagipula, ketentuan tersebut sama sekali tidak menyebut akibat hukum tertentu, terkait norma kewajiban yang diaturnya. Di dalam peraturan pelaksananya, ketidakjelasan ini semakin kentara.

Menurut tafsir pemerintah yang dituangkan di dalam PP No. 31/2013 (Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2011), ketentuan penjamin di satu sisi ditujukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan ITAP (lihat Pasal 153 ayat (3)), di mana surat permohonan dari anggota keluarga disetarakan dengan surat dari penjamin (bandingkan juga dengan bunyi Pasal 63 ayat (4) UU No. 6/2011 dan penjelasannya). Jadi, ketentuan penjamin diberlakukan sebagai syarat untuk mendapatkan izin tinggal. Namun di sisi lain, di dalam bab mengenai “Penolakan dan Pembatalan Izin Tinggal”, disebutkan pula bahwa pasangan/anggota keluarga WNA pemegang izin tinggal tersebut diwajibkan untuk memiliki penjamin, meski izin tinggal juga nyata-nyata dinyatakan tetap berlaku (Pasal 160, 161, 162, dan 163).

Penempatan ketentuan mengenai penjamin di dalam bab mengenai “Penolakan dan Pembatalan Izin Tinggal” ini mengindikasikan seolah-olah izin akan dibatalkan, atau permohonan perpanjangan akan ditolak, jika pemegang izin tidak mengajukan penjamin. Meski demikian, ayat pertama ketentuan-ketentuan tersebut sendiri jelas menyatakan bahwa: izin tinggal terbatas (ITAS) atau izin tinggal tetap (ITAP) dinyatakan tetap berlaku, meski pasangan (Pasal 160) atau orang tua (Pasal 161) meninggal, atau jika terjadi perceraian ketika usia perkawinan telah di atas sepuluh tahun (Pasal 162). Dengan demikian, kewajiban memiliki penjamin jelas tidak mengandung konsekuensi hukum apapun, kecuali terkait satu kategori yang disebut terakhir dalam empat kategori tersebut. Sementara itu, bagi pasangan WNA yang cerai sebelum usia perkawinannya mencapai sepuluh tahun (Pasal 163), ITAP-nya akan dianggap tetap berlaku, (hanya) jika pemegangnya memiliki penjamin (dasar pembatalan tersebut memang dicantumkan dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g UU No. 6/2011).

Dari sudut pandang di atas, ketentuan mengenai penjamin berdasar Pasal 63 UU No. 6/2011 harus dipahami sebagai syarat untuk mendapatkan ITAP (Pasal 153 ayat (3) PP No. 31/2013), bukan sebagai dasar pembatalan ITAP. Sehubungan dengan ITAP yang dibatalkan karena putusnya hubungan perkawinan akibat perceraian/putusan pengadilan (Pasal 62 ayat (2) huruf g UU No. 6/2011), syarat (mengajukan) penjamin ini akan diberlakukan bagi pemegangnya, jika dia ingin ITAP-nya tetap dianggap berlaku.

Ketentuan mengenai penjamin bukan syarat perpanjangan ITAP

Selanjutnya, perlu pula diketahui bahwa syarat untuk memperpanjang ITAP, berbeda dengan syarat untuk mendapatkan ITAP. Hal ini telah diatur dengan tegas dan jelas oleh undang-undang sendiri. Terkait perpanjangan ITAP yang dilakukan dengan melapor setiap lima tahun untuk jangka waktu tak terbatas, Pasal 59 UU No. 6/2011 hanya mensyaratkan: “sepanjang Izin Tinggalnya tidak dibatalkan”. Dengan demikian, satu-satunya kriteria yang boleh digunakan untuk menolak permohonan perpanjangan ITAP, hanya jika ITAP telah berakhir dengan sendirinya, atau terdapat salah satu dasar pembatalan yang disebutkan dalam Pasal 62 UU No. 6/2011.

Tidak dipenuhinya kewajiban memiliki penjamin menurut ayat kedua dari Pasal 160, 161, dan 162, bukan merupakan bagian dari isi Pasal 62 ayat (2) UU No. 6/2011 tersebut. Dan seperti kita ketahui bersama, pencabutan atau pembatasan hak yang diatur dalam UUD 1945 (dalam hal ini hak setiap orang untuk bertempat tinggal yang diatur dalam Pasal 28H), harus diatur dengan undang-undang (lihat Pasal 10 UU No. 12/2011).

Terkait hal ini, perlu kita cermati kembali isi Pasal 157 PP No. 31/2013. Ketentuan mengenai syarat perpanjangan ITAP ini, memberlakukan persyaratan yang sama dengan perolehan ITAP (Pasal 153). Akibatnya, jika pemegang ITAP tidak memenuhi kewajiban penjamin (katakanlah karena pasangan atau orang tua WNI-nya meninggal dalam waktu lima tahun berlakunya ITAP sebelumnya dan dia tak dapat mengajukan penjamin), maka ITAP-nya (yang semestinya dapat berlaku untuk jangka waktu tak terbatas itu), tidak dapat lagi diperpanjang.

Pasal 157 PP No. 31/2013 ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 59 UU No. 6/2011 yang nyata-nyata hanya menentukan bahwa ITAP: “dapat diperpanjang untuk waktu tidak terbatas sepanjang Izin Tinggalnya tidak dibatalkan”. Kewajiban untuk mengajukan penjamin, sama sekali tidak disebut sebagai salah satu syarat untuk memperpanjang ITAP (Pasal 59 UU No. 6/2011), maupun sebagai dasar pembatalan ITAP (Pasal 62 ayat (2) UU No. 6/2011). Dengan demikian, perpanjangan ITAP hanya dapat ditolak menurut dasar-dasar pembatalan yang telah diatur dalam Pasal 62 ayat (2) UU No. 6/2011, atau karena berakhirnya ITAP sebelumnya menurut Pasal 62 ayat (1) UU No. 6/2011. Dengan kata lain, syarat untuk perpanjangan ITAP hanya dapat didasarkan pada kriteria yang ditentukan dalam Pasal 62 UU No. 6/2011 tersebut.

Kesimpulan

Ketentuan mengenai penjamin mengandung permasalahan sejak awal, karena memuat norma (kewajiban) administratif, tanpa disertai kejelasan ruang lingkup dan konsekuensi hukum yang menyertainya. Karenanya, terbuka pertanyaan, apakah kewajiban memiliki penjamin itu dimaksudkan sebagai syarat permohonan dengan konsekuensi penolakan jika tidak dipenuhi, atau merupakan dasar pembatalan jika kewajiban itu dilanggar. Dalam aturan pelaksanaannya, kewajiban memiliki penjamin ini dijadikan syarat baru untuk perpanjangan izin tinggal yang tentu saja bertentangan dengan ketentuan undang-undangnya sendiri.

Dengan mencermati tujuan adanya penjamin yang disebutkan dalam Pasal 63 UU No. 6/2011, ketentuan penjamin harus dipahami sebagai syarat permohonan ITAP yang kemudian diatur di dalam Pasal 153 PP No. 31/2013 (di mana surat permohonan pasangan/orang tua disetarakan dengan surat penjaminan dari penjamin). Selanjutnya, undang-undang juga tidak menyebutkan kewajiban penjamin sebagai syarat perpanjangan ITAP yang telah diatur secara jelas dalam Pasal 59 jo. 62 ayat (2) UU No. 6/2011, yaitu selama ITAP tidak dibatalkan. Tidak dipenuhinya kewajiban penjamin bukan merupakan salah satu dasar pembatalan yang telah diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, ketentuan Pasal 157 PP No. 31/2013 yang mensyaratkan adanya penjamin untuk perpanjangan ITAP, telah nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 59 jo. 62 ayat (2) UU No. 6/2011. Pintu uji materiil pada Mahkamah Agung jelas terbuka dalam kasus ini.

Selain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya, dengan mengingkari adanya izin tinggal tetap yang berlaku tidak terbatas (karena ITAP anggota keluarga perkawinan campuran akan diuji setiap lima tahun dengan kriteria yang sama seperti saat permohonan pertama), ketentuan ini sekaligus membatalkan “perubahan monumental” yang telah dicanangkan sendiri oleh Menteri dan para anggota DPR sendiri (lagi-lagi perhatikan bunyi Pasal 59 jo. 62 ayat (2) UU No. 6/2011 yang jelas ditujukan untuk memberikan suatu jaminan hak bertempat tinggal yang bersifat permanen setelah beberapa waktu). Kebanggaan para pembuat undang-undangnya, sambutan gembira para pemangku kepentingannya, serta reaksi media yang luar biasa ketika undang-undang tersebut ditetapkan, tak sepantassnya berakhir seperti ini. Perlindungan nilai-nilai kemanusiaan yang telah menguat, tak seharusnya kembali dilemahkan. Sebagai sebuah bangsa yang mengaku berdasarkan prinsip “kemanusiaan yang adil dan beradab”, tentu bukan ini yang kita harapkan bersama, bukan?

16 Komentar

Filed under Konstitusi

16 responses to “Perkembangan Terkini Hukum Keimigrasian: Ketentuan Penjamin dalam PP No. 31/2013

  1. (5)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak berlaku dalam hal pemegang Izin Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    • nasima

      Pasal 63 ayat (5) ini merupakan suatu perkecualian dari Pasal 62 ayat (2) huruf g yang mengatur dasar pembatalan. Sehingga keberlakuan pasal ini, kalau mau fair, tak bisa dilepas begitu saja dari konteksnya, yaitu situasi di mana izin tinggal dibatalkan (karena putusnya perkawinan akibat perceraian atau putusan pengadilan DAN (perkawinan itu) belum berusia sepuluh tahun). Pasal 63 ayat (5) memberi jalan keluar bagi ketidakjelasan status hukum pasangan WNA dalam situasi tersebut, yaitu izin tinggal akan tetap dianggap berlaku (jadi tidak batal), asal dia “memperoleh penjaminan yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Bagaimana kalau usia perkawinan telah lebih dari sepuluh tahun DAN pasangan WNA telah mendapatkan izin tinggal tetap tak terbatas? Dalam hal ini, coba anda periksa lagi, Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak lagi dapat digunakan sebagai dasar pembatalan. Dengan demikian, Pasal 63 ayat (5) tentu tidak lagi relevan, bukan?

  2. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak berlaku dalam hal pemegang Izin Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

  3. hg kho

    Saya telah mempelajari dengan saksama semua situs kanim di Jakarta hari ini tanggal 26 September 2013 (kanim pusat, kanim jaksel, kanim jakbar, kanim jakut): situs tersebut tidak meng-update pelaksanaan UUI 6/2011 dan PP 31/2013 terutama yang menyangkut permohonan ijin tinggal WNA khususnya pasal 54 ayat (1) huruf d, pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 60 ayat (3) eks WNI. cara bekerjanya masih berdasarkan UU yang telah daluwarsa. Ini sangat merugikan perlayanan pada masyarakat.

  4. Tulisan yang sangat informatif bagi saya. Bisakah Anda tulis juga artikel tentang undang-undang yang memberi ITAS (atau ITAP) bagi diaspora Indonesia? Atau sudah ada tulisan tentang ini? Kalau sudah pernah ditulis, tolong kasih linknya.
    Salam,
    Bari Muchtar

    • nasima

      Terima kasih atas apresiasinya, Bung Bari. Terkait ITAS dan ITAP bagi diaspora Indonesia, saya belum pernah membahasnya dan saya juga tidak tahu apakah sudah ada yang menulis tentang itu, namun akan saya usahakan untuk menuliskannya juga dalam waktu dekat ini. Bagaimanapun juga, itu juga salah satu poin perubahan dalam UU baru tersebut.

      Salam,
      Imam Nasima

  5. Perlu digarisbawahi, terkait izin tinggal anggota keluarga perkawinan campuran, ketentuan mengenai penjamin ini menjadi fokus utama pemerintah. Kalau kita buka informasi yang tersedia bagi pelaku perkawinan campuran dalam situs web Direktorat Jenderal Imigrasi, misalnya, hanya poin-poin mengenai penjamin tersebut yang diumumkan sehubungan dengan izin tinggal keluarga perkawinan campuran. Padahal, seperti telah dikemukakan sebelumnya, justru ketentuan mengenai penjamin dalam UU No. 6/2011 ini yang masih ambigu, karena tidak jelas diberlakukan sebagai syarat permohonan atau dasar kebatalan ITAP. Lagipula, ketentuan tersebut sama sekali tidak menyebut akibat hukum tertentu, terkait norma kewajiban yang diaturnya. Di dalam peraturan pelaksananya, ketidakjelasan ini semakin kentara.

  6. srikaswati

    Boleh dpt informasi, apa saja yg menyebabkan pengajuan wna menjadi wni di tolak, saya punya pimpinan perusahaan , dia sdh tinggal di Indonesia selama 23 tahun, mengajukan menjadi wni setelah menunggu 2 tahun , kami coba cari tahu, dan mendapat jawaban secara tdk resmi infonya di tolak.

    • nasima

      Ibu Srikaswati, ketentuan mengenai pewarganegaraan (naturalisasi) dapat dilihat dalam UU No. 12/2006 dan PP No. 2/2007. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk pengajuan seperti itu. Menurut undang-undang, kalaupun permohonan tersebut ditolak, harus pemberitahuan yang harus disampaikan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal permohonan diajukan, disertai dengan alasannya. Memang tak ada ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan upaya hakim, tapi saya pikir penolakan ini, dalam waktu tertentu, masih dapat dipermasalahkan di pengadilan. Tapi dua tahun itu tentu waktu yang sangat lama. Untuk saat ini, Ibu tentu dapat minta surat tertulis resmi dari Kementerian, sebagaimana ketentuan dalam UU dan PP tadi. Kalau terus ditolak, atau ternyata memang telah ada keputusan penolakan tapi tidak diberitahukan, sebaiknya Ibu hubungi advokat.

    • ajiwibowi

      Salam kenal,ibu bisa contact ke saya :Aji_power23@yahoo.com atau ke wibawa.group@yahoo.com .saya bisa bantu semua proses dokumen orang asing dr kitas,kitap,work permit dan perubahan wna menjadi wni…untuk kasusnya ibu saya paham dan saya bisa bantu.terima kasih

    • ajiwibowi

      Salam kenal,ibu bisa contact ke saya :Aji_power23@yahoo.comatau kewibawa.group@yahoo.com .saya bisa bantu semua proses dokumen orang asing dr kitas,kitap,work permit dan perubahan wna menjadi wni…untuk kasusnya ibu saya paham dan saya bisa bantu.terima kasih

  7. informasi ini sangat berguna bagi saya, yang jadi pertanyaan yang membingungkan bagi saya, jadi jika WNA tersebut sudah memiliki ITAP dan jika perkawinan kurang dari lima tahun terjadi perceraian apakah memungkinkan ITAP masih berlaku / tidak ada pembatalan jika pemegang ITAP mengajukan penjamin sebelum masa ITAP berakhir?? mohon penjelasannya

  8. muji Yati

    salam,,,saya ibu mujiyati yang sudah menikah selama dua tahun dengan warga negara inggris yang menjadi pertanyaan saya, sebetulnya berapa kalikah KITAP boleh diperpanjang ? karena suami saya tidak bermaksud untuk melepas kewarga negaraan nya mohon pencerahan nya trimakasih,,,,

  9. Saya Calon Penjamin baru karena penjamin lama meninggal duni (adik kami laki2 yang kawin dengan wna jepang dg usia perkawinan 12 tahun), sewaktu kami mengajukan alih sponsor/penjamin kami diminta bayar Itap lagi Rp.3.5juta dan MREP Rp.600ribu dan jasa IT Rp.55ribu. pantaskah kami dikenakan biaya itap lagi sementara itap yang lama masih berlaku sd 2019??

  10. Yenny

    Suami saya telah tinggal di Indonesia selama 6 tahun dan telah memegang KITAP dengan masa berakhir November 2016. Sponsor selama ini adalah istri pertama (WNI) yang beliau nikahi pada tahun 2000 di negerinya dan disahkan kembali secara muslim dengan buku nikah tercatat 2009. Pada awal April 2015, istri pertama meninggal karena kanker dan beliau telah melapor ke kantor imigrasi Pematangsiantar (Sumut) untuk hal ini dan memohon sponsor baru pada bulan Mei 2015.

    Bulan Agustus 2015, suami menikahi saya (WNI) dan kami menyampaikan permohonan ke kantor imigrasi Pematangsiantar sebagai sponsor baru beliau. Setelah dokumen yang diminta pihak imigrasi kami lengkapi berupa permohonan sponsor, surat keterangan kepolisian dari Polda, surat domisili lurah setempat, dan dokumen lainnya kami lengkapi semua, sekitar minggu lalu melalui salah satu staf Imigrasi Pematangsiantar menyatakan PERMOHONAN SAYA SEBAGAI SPONSOR BARU DITOLAK DENGAN ALASAN SAYA HARUS MENGAJUKAN PERMOHONAN KEMBALI KE DIREKTORAT JAKARTA SEBAGAI SPONSOR BARU BELIAU DAN SUAMI KEMBALI KE KITAS. KITAP SUAMI TIDAK DAPAT DIPERPANJANG. walaupun nantinya pernikahan kami tercatat sah di catatan sipil. Saat ini kami masih menikah secara adat. Saya telah berusaha menjelaskan ke pihak imigrasi bahwa suami saya kehilangan sponsor pertama karena istri meninggal dunia dan beliau pemegang KITAP. Pihak Kantor Imigrasi Pematangsiantar menyatakan SUAMI HARUS DIDEPORTASI APABILA MASA KITAPNYA TELAH BERAKHIR, Saya dan suami sangat bingung dengan hal ini, apa yang perlu kami lakukan ? Haruskah suami dideportasi dan kembali ke KITAS nantinya ? Suami sudah tercatat sebagai penduduk Indonesia walau bukan WNI. Adakah yang bisa membantu kami dalam hal ini ? Kami mencoba berargumen dengan PP no. 31 / 2013 dan UU no. 06 tahun 2011 namun tampaknya tidak efektif. Apa yang bisa kami lakukan ? Adakah yang bisa membantu kami dalam hal ini ? Terima kasih

Tinggalkan Balasan ke ajiwibowi Batalkan balasan