Harmonisasi Peraturan: Tantangan Reformasi Regulasi di Indonesia

Selain permasalahan pada tahap perencanaan yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu hambatan politik dalam pelaksanaan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga memuat permasalahan-permasalahan lain yang juga berhubungan dengan sistem ketatanegaraan dan praktik pelaksanaannya. Dari beberapa pertanyaan yang diajukan oleh para peserta kursus, serta kajian-kajian yang mengemuka mengenai UU No. 12/2011 ini, setidak-tidaknya dapat dibuat daftar pertanyaan berikut:

  1. Apa status hukum dari peraturan-peraturan yang disebut oleh Pasal 8 UU No. 12/2011, namun tidak disebutkan di dalam hierarki peraturan yang diatur oleh Pasal 7 UU No. 12/2011?
  2. Bagaimana menentukan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan tertentu?
  3. Apa peran dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (pasca Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 dan No. 79/PUU-XII/2014)?
  4. Bagaimana cara menganalisis/mengevaluasi suatu peraturan perundang-undangan?
  5. Bagaimana memastikan tercapainya keselarasan (harmonisasi) peraturan?
  6. Siapa yang harus mewakili pemerintah dalam persidangan pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi?

Dari daftar pertanyaan di atas, berdasarkan esensinya, kita dapat memisahkannya pada (1) permasalahan organisatoris/struktural (terkait dengan politik dan ketatanegaraan), serta (2) permasalahan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan. Adanya dua aspek terpisah ini penting untuk diketahui, karena pada umumnya perancang sudah langsung menganggap permasalahan yang dihadapinya sebagai permasalahan teknis, sementara permasalahan itu bisa jadi lebih bersifat struktural (yang tentu tak dapat dipecahkan hanya dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang ada saja).

Untuk memperjelas pembahasan di sini, permasalahan-permasalahan tersebut dapat kita kelompokkan ke dalam topik-topik berikut ini:

  1. Organisatoris/Struktural:
    • Hierarki legislasi (poin a)
    • Peran DPD dalam proses legislasi (poin c)
    • Keterwakilan dalam perkara pengujian undang-undang (poin f)
    • Harmonisasi (kebijakan) (poin e)
  2. Teknis:
    • (Teknik/Metode) Harmonisasi (poin e)
    • Materi muatan (poin b)
    • Analisis dan evaluasi legislasi (poin d)

Sebagaimana dapat kita lihat pada daftar topik-topik di atas, selain memuat aspek teknis (bagaimana menyelaraskan isi peraturan tertentu), harmonisasi peraturan perundang-undangan ternyata juga memuat aspek organisatoris (bagaimana menyelaraskan kebijakan lembaga-lembaga yang berbeda –atau biasa juga disebut sebagai koordinasi). Tanpa adanya koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintahan yang berbeda, akan mustahil untuk mewujudkan keselarasan isi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan lembaga-lembaga tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini akan memfokuskan pembahasan dengan aspek organisatoris/struktural, sebelum beranjak lebih lanjut pada aspek teknis.

Secara teori, sebagaimana dapat dilihat pada bagan di bawah ini, mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan (oleh pemerintah) sebenarnya cukup sederhana. Semua RUU yang hendak diajukan untuk dibahas bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Presiden dan melalui proses pembahasan antar departemen. Di sini semestinya terdapat fungsi koordinasi yang seharusnya dapat berjalan, setidaknya sepanjang proses harmonisasi yang dilakukan tidak lagi membuka perdebatan mengenai hal-hal substansial yang telah diputuskan bersama di dalam rapat lintas departemen.

legislasi-1

Masalah 1: Dualisme Kekuasaan Legislatif

Namun, kiranya patut diketahui, bahwa di luar bagan di atas, sebenarnya terdapat pula mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari (inisiatif) DPR. Berdasarkan praktik legislasi selama ini, RUU yang bersumber dari DPR pada dasarnya akan diselaraskan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR, meskipun tidak ada alur koordinasi yang mengikat dengan Pemerintah. Akibatnya, terdapat dua cabang kekuasaan yang sama sekali terpisah dan tak ada jaminan adanya keselarasan kebijakan yang diambil kedua lembaga tersebut, meskipun secara formil semua RUU harus melalui pembahasan bersama.

Di dalam literatur, termasuk perdebatan akademis yang mengemuka di Indonesia, permasalahan ini biasa dipahami sebagai akibat dari berlakunya sistem presidensial dengan dua cabang kekuasaan (eksekutif dan legislatif) yang benar-benar terpisah secara politik (lihat misalnya Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi. Menguatnya Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”, 2010). Sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, akibat yang kemudian paling tampak adalah terhambatnya produktivitas pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena minimnya dukungan politik partai-partai di parlemen.

Selain itu, kondisi ini sepertinya juga telah membuat kualitas pembahasan menjadi merosot, karena DPR dan Presiden akan cenderung untuk ‘barter’ (saling tukar) inisiatif pengajuan rancangan undang-undang tertentu, ketimbang saling mengkritisi atas isi rancangan undang-undang yang diusulkan. Pada gilirannya kemudian, dalam proses pengujian undang-undang dan putusan-putusan hakim, hampir tak ada rujukan secara sistematis kepada pokok-pokok pikiran yang digunakan dalam pembentukan undang-undang terkait.

Kondisi di atas sepertinya tidak akan banyak berubah dalam waktu dekat ini dan justru dapat menjadi lebih kompleks dengan diakuinya kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), tentu kalau tidak diantisipasi dengan suatu kriteria kewenangan yang jelas.

Masalah 2: Kewenangan Legislasi Berdasarkan Kewenangan

Permasalahan lain yang tak kalah pelik dimunculkan oleh Pasal 8 UU No. 12/2011. Menurut ketentuan pasal tersebut, kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan pada kenyataannya tidak hanya menjadi domein eksklusif DPR dan Presiden, namun telah menjadi kewenangan hampir semua lembaga negara/lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia.

Pasal 8 UU No. 12/2011

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Sehingga, bukan hanya dalam hubungannya dengan DPR, pada sisi pemerintah(an) sendiri sekalipun tidak diatur adanya koordinasi internal. Dengan demikian, masing-masing departemen dapat saja membuat kebijakannya sendiri tanpa berkonsultasi dengan Menteri Hukum dan HAM. Ini belum memperhitungkan adanya lembaga-lembaga lain di luar kementerian – yang juga dapat mengeluarkan peraturan sebagaimana layaknya pembuat undang-undang.

Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 bahkan mengakui keberadaan peraturan-peraturan semacam itu, bukan saja apabila didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, namun juga apabila peraturan-peraturan tersebut dibentuk berdasarkan kewenangan. Pertanyaannya, di mana kewenangan (legislasi) itu diatur?

Yang jelas, konstitusi (selain dirinya sendiri) hanya menyebut secara tegas (1) Undang-Undang (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD 1945); (2) Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) UUD 1945); dan (3) Peraturan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) (Pasal 18 ayat (1), (5), (6), dan (7) UUD 1945).

hierarki-legislasi

Dasar hukum dari adanya Peraturan/Keputusan/Instruksi Presiden yang dirujukkan pada Pasal 4 ayat (1), tampaknya telah menginspirasi perluasan kewenangan legislasi – yang justru mengacaukan hierarki legislasi yang telah diatur di dalam Pasal 7 UU No. 12/2011 (dan melanggar ketentuan konstitusi mengenai kewenangan legislasi!). Pandangan (keliru) ini pula yang sepertinya mendasari lahirnya Tap MPR, karena sebenarnya konstitusi itu sendirilah yang merupakan produk hukum MPR (Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 37 UUD 1945).

Pasal 7 UU No. 12/2011

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Masalah 3: Tidak Ada Kejelasan Mengenai Kedudukan Perjanjian Internasional

Dengan diaturnya hierarki legislasi sebagaimana di atas, maka akibatnya dapat dipertanyakan pula kedudukan perjanjian internasional dalam hierarki tersebut. Meskipun pengesahannya telah diatur di dalam UU No. 24/2000, yaitu dengan undang-undang untuk permasalahan mendasar (politik, hankam, penetapan wilayah, kedaulatan, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kaidah hukum baru, dan pinjaman/hibah luar neger), serta dengan keputusan presiden untuk hal-hal lainnya, namun belum cukup jelas apakah perjanjian internasional terkait (setelah disahkan) berlaku langsung ke dalam sistem hukum nasional ataukah harus diadopsi dulu ke dalam hukum nasional.

Pasal 9 UU No. 24/2000

(1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.

(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.

Pada prakteknya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam beberapa putusannya mengakui keberadaan norma-norma konvensi internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia, sehingga sepertinya cenderung menguatkan pandangan pertama. Namun, hal ini tidak pernah dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang ada.

Ketiga permasalahan di atas tadi perlu dipecahkan, setidaknya terkait adanya kewenangan legislasi yang hanya berdasarkan kewenangan dan ketidakjelasan kedudukan perjanjian internasional, karena dualisme kewenangan legislatif itu sendiri berhubungan dengan relasi kewenangan cabang-cabang kekuasaan yang diatur oleh konstitusi. Kewenangan-kewenangan lembaga pemerintahan yang tak tertata tersebut, mengakibatkan melonjaknya produksi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang – yang tentunya di luar kewenangan harmonisasi Pemerintah, sebagaimana dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

jumlah-peraturan

Kepastian hukum yang diusahakan oleh Presiden dalam rangka memperbaiki iklim berusaha di Indonesia, akibatnya, menjadi jauh panggang dari api. Perlu diketahui, bahwa bagan tersebut bahkan belum memasukkan secara lengkap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga lain, termasuk Peraturan/Surat Edaran Mahkamah Agung yang meskipun secara jumlah barangkali tidak cukup signifikan, namun (seharusnya) jelas memberikan arahan yang mengikat di dalam sistem hukum nasional.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, setidaknya terdapat tiga permasalahan mendasar (pada tataran normatif) yang barangkali perlu segera diatasi dengan mengubah peraturan yang ada, yaitu menghapuskan Pasal 8 dan merevisi Pasal 7 UU No. 12/2011 berdasarkan ketentuan-ketentuan di dalam konstitusi. Di samping itu, pola koordinasi (atau: harmonisasi kebijakan) di dalam tubuh pemerintahan, tentu menuntut adanya penataan ulang proses pembentukan peraturan perundang-undangan, setidaknya di tubuh pemerintah sendiri. Oleh karena itu, Presiden perlu untuk segera menunjuk suatu tim yang bertugas menyusun dan mengawal proses reformasi regulasi yang telah menjadi bagian dari agenda kebijakannya.

 

Tinggalkan komentar

Filed under Tidak Dikategorikan

Tinggalkan komentar