Category Archives: Kilas Sejarah

Tentang Kesulitan Hakim Kolonial Menggali Fakta

(Diterjemahkan dari VIER-EN-VIJFTIGSTE-BRIEF di dalam “Brieven van Opheffer”, hlm. 206-208)

Surat Ke-Lima-Puluh-Empat

Tentang bagaimana Kromo membakar amarah para hakim.

15 Mei 1912.

Di sana saya terima sebuah paket lembaran-lembaran negara, nomor 191 sampai dengan 204. Nomor terakhir itu, “dibuat di Buitenzorg, 21 Februari 1912”. Dengan demikian, sebanyak 200 lembaran negara sudah dihasilkan dalam waktu 50 hari; 4 setiap harinya, atau lebih dari 1400 setiap tahunnya. Amat, si penjilid buku, sampai tak punya alat untuk menjilid terbitan-terbitan itu menjadi satu bagian.

Di masa lalu, dengan tenang bisa kau sambit kepala orang dengan terbitan tahunan itu, jika terdapat kebutuhan mendesak untuk itu, namun untuk saat ini, perbuatan mengesankan semacam itu tak lagi disarankan; terbitan-terbitan tahunan itu terlalu tebal dan kau akan mengambil resiko mengakibatkan matinya seseorang.

Semenjak aku lebih terdidik menjadi seorang etis, aku lebih suka membuat orang terkesan dengan lampiran-lampiran yang belum muncul. Jika ada seseorang yang menyebalkan, katakan saja: “Tuan, itu tidak mungkin; itu jelas bertentangan dengan lampiran No. 9723”. Nomor itu sebenarnya belum keluar, tapi justru di situ menariknya. Pernyataan itu sangat mengesankan. Orang-orang yang membuatmu sebal itu akan selalu tersentak dengan keterkejutan: “Oh! Maaf..”. Terlebih lagi, terbuka pula kemungkinan orang-orang itu akan menceritakan ke mana-mana bahwa kau adalah koran berita yang luar biasa – mengenal semua lampiran-lampiran itu di luar kepala.

Iya, para pejabat di Hindia mempunyai bermacam-macam trik untuk menjalankan kewenangannya. Seorang ketua pengadilan Landraad yang telah dikuasai amarah, mencapai titik puncak kemarahannya, ketika Kromo berbohong.

Peluru pertamanya, sepatunya. Yang kedua, kitab undang-undangnya. Dan yang ketiga, cerutunya. Dia tak pernah menyimpang dari urutan itu. Saya sendiri tak percaya dia dapat membuat targetnya mengatakan kebenaran. Seorang teman kerja lain lebih berbahaya lagi: dia gunakan palu sidangnya dan pada suatu ketika memakan korban dua gigi depan seorang saksi. Saat ini, sudah ada jaksa yang meminta saran terkait kasus tersebut. Jika saja kasus ini bocor dan dia tak pernah melaporkan sesuatu, maka dia juga akan harus ikut bertanggungjawab. Saya berikan nasehat, sebelum sidang dimulai, agar mengikat palu ketua majelis pada kaki meja dengan suatu kawat halus yang kuat; sehingga terjadilah hal itu, ketika Yang Mulia kembali terbakar amarah dan melemparkan pelurunya, peluru itu kembali ke pelemparnya dengan kecepatan tinggi.

Dampaknya begitu menggelikan, sehingga pada akhirnya dia sembuh untuk selamanya.

Jangan kau bayangkan ketua-ketua pengadilan ini terpengaruh buasnya alam tropis; dalam kehidupan bermasyarakat mereka itu orang-orang yang ramah, bapak-bapak yang baik, dan hakim-hakim yang manusiawi, namun kau menghadapi Kromo yang dengan wajah termanis di dunia, membakar emosimu. Di sana hawanya gerah, serta kau punya banyak pekerjaan, dan sebuah sidang di hadapanmu yang seperti tak ada hentinya.

Tiga perempat jam waktumu telah kau habiskan, untuk seseorang yang kembali menyatakan sesuatu yang berbeda dari pemeriksaan pendahuluan: tentu saja, dia telah melihatnya; pada suatu Djoemahat Kliwon pada pukul 11 malam, saat dia kembali dari pekarangan yang dijaganya, ketika itulah dia bertemu dengan terdakwa 1 yang menarik seekor kerbau ke arah timur.

–          Ke arah timur? Dan di dalam pemeriksaan pendahuluan anda telah menyatakan bahwa terdakwa membawa hewan tersebut ke arah barat.

–          Itu tak pernah saya nyatakan.

–          Iya, namun itu tercantum di dalam berita acara yang dibuat di bawah sumpah jabatan oleh asisten wedana.

–          Bisa jadi, tapi saya tak pernah nyatakan itu.

–          Dan kepada jaksa anda juga menyatakan bahwa terdakwa 1 pergi ke arah barat.

–          Itu tak pernah saya nyatakan.

–          Saudara saksi, ingat bahwa anda berada di bawah sumpah.

–          Noen, inggih.

–          Lanjutkan cerita anda.

–          Ketika itu, saya lihat terdakwa 1 pergi ke arah barat dan saya sapa dia: kang…

–          Berhenti sebentar; anda tadi baru saja bilang, kalau dia pergi ke arah timur.

–          Tidak, itu tak pernah saya katakan.

–          Dan saya ingatkan anda lagi, bahwa pernyataan itu tidak sesuai dengan pernyataan pertama, di mana anda katakan bahwa dia pergi ke arah barat, serta saat itu anda bersikukuh pada pendapat anda dan anda katakan anda tak pernah mengatakan bahwa dia pergi ke arah barat.

–          Itu tak pernah saya katakan.

–          Dan baru saja anda katakan, dia pergi ke arah barat!

–          Iya, dia memang pergi ke arah barat.

–          Jadi, pernyataan pertama anda kepada asisten wedana dan pernyataan anda kemudian kepada jaksa, bahwa anda telah melihat terdakwa pergi ke arah barat, itu tepat.

–          Tidak, itu tidak tepat; Jika itu yang mereka tuliskan, itu tidak tepat; mereka telah silap.

Kembali terdengar pidato dari ketua pengadilan yang mengingatkannya tentang betapa seriusnya arti sumpahnya. Suhu memanas, 87° F di ruangan tersebut; sekarang sudah setengah dua siang.

–          Saudara saksi, anda mengambil resiko terkena tuntutan karena sumpah palsu.

–          Noen, inggih.

–          Jadi terdakwa pergi ke arah barat?

–          Tidak, ke arah timur.

Tentu, kalau kemudian seseorang jadi kebakaran jenggot, itu tidak mengherankan. Apakah itu keluguan, seperti yang dia katakan setelah dirinya terpojok? Atau dia sudah tak tahu lagi harus berbuat apa?

Dapat kau pikirkan. Bagi mereka yang berani, telah dijanjikan tiga perak jika dia dapat berbohong sehingga terdakwa bebas.

Namun, ingin sekali saya melihat muka ketua pengadilan itu lagi, jika dia harus mengadili “kasus penamparan” [klapzaak; kasus yang dulu sering terjadi ini, biasanya diawali seorang Eropa yang menampar pekerja pribumi, tetapi kemudian, karena merasa sangat malu, orang pribumi tersebut melukai atau membunuh orang Eropa itu, misalnya, dengan memukulkan cangkulnya, red.] atau akan memeriksa pengaduan terhadap seorang wedana yang menolak untuk menjewer seseorang yang berbohong.

 

Tinggalkan komentar

Filed under Kilas Sejarah

Tiada Kompromi: Ketika Yap Thiam Hien Ditantang Seratus Dewa *)

“…tak seorangpun ia tuntut selain dirinya sendiri. Dan tak sedikitpun pamrih ia harapkan untuk dirinya sendiri. Ia berdebat dengan banyak pihak dan yang ia tantang lebih banyak lagi – para pemimpin politik, hakim-hakim, jaksa-jaksa, polisi, rekan-rekan seprofesi, gerejanya, Perjanjian Lama, sebagian isi Perjanjian Baru, dan bahkan, saya kira, Tuhannya.” (Daniel S. Lev: 1989)

Para pahlawan tidaklah dilahirkan begitu saja, tapi terbentuk melalui suatu proses. Begitu pula halnya dengan sosok pahlawan pembela Hak Asasi Manusia(HAM) di Indonesia, Yap Thiam Hien. Meski namanya telah banyak dikenal dalam lingkup komunitas hukum dan  masyarakat luas, belum ada satu buku yang secara utuh dan merinci menggambarkan bagaimana jati diri Yap terbentuk. Tentu bukannya belum ada buku sama sekali tentang Yap.

Kalau Anda mau menelusurinya, barangkali bisa saja Anda temukan hasil suntingan Todung Mulya Lubis dan Aristides Katoppo (“Yap Thiam Hien: Pejuang Hak Asasi Manusia”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990) atau hasil suntingan Daniel Hutagalung (“Yap Thiam Hien: Negara, HAM dan Demokrasi”, YLBHI, Jakarta, 1998). Namun, karya-karya mereka ini baru berupa rangkaian jejak pemikiran Yap, serta belum memberikan gambaran pembentukan kepribadian tokohnya sendiri.

Di dalam “No Concessions”, Daniel S. Lev menceritakan dengan rinci kehidupan pahlawan pembela HAM itu, dari dia lahir hingga dia ditangkap dalam peristiwa Malari pada tahun 1974. Di samping, tentu saja, betapa gigihnya Yap selama hidupnya bertarung di pengadilan menghadapi realitas politik yang menggerogoti sendi-sendi negara hukum di negerinya.

Sebagai sebuah karya Dan Lev, keberadaan buku ini juga tak kalah istimewa. Sebagian dari Anda yang menekuni kajian politikIndonesia, barangkalitelah mengenal tajamnya pisau analisis Dan Lev dari buku “Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected Essays” (2000)yang merekam perkembangan (atau kemerosotan?) institusi-institusi hukum di Indonesia. Namun, dalam beberapa segi, “No Concessions” ini bahkan bisa dibilang lebih istimewa dari kumpulan tulisan Dan Lev itu. Bukan hanya karena “No Concessions” merupakan karya terakhir Dan Lev yang bahkan belum sepenuhnya dapat dituntaskan selama hidupnya, tetapi buku ini juga semacam suatu refleksi dari pengalaman intelektualnya yang sedikit banyak dia temukan kembali dalam diri Yap. Berkat bantuan isteri Dan Lev, Arlene Lev, serta beberapa teman dekatnya, seperti Ben Anderson, Sebastiaan Pompe, dan Ibrahim Assegaf, buku tersebut pada akhirnya terselesaikan juga. Tentu, tanpa bantuan dari Yap sendiri, beserta keluarga besarnya, penyusunan buku ini akan mustahil dilakukan. Sejak wawancara pertama dengan Yap pada bulan Agustus 1971, Dan Lev dengan tekun menelusuri kembali sepak terjang tokoh yang dikaguminya itu dari masa awal hidupnya, termasuk kehidupan pribadinya.

Judul No Consessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer
Penulis Daniel S Lev
Penerbit University of Washington Press, Seattle & London
Cet-1 2011
Halaman 466

Pada bagian awal bukunya, Dan Lev menunjukkan tempat-tempat di mana Yap dilahirkan dan kemudian ditempa. Dari Aceh, Yogyakarta, Batavia, Sukabumi,  Jakarta, Leiden, hingga kembali menetap di Jakarta. Tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai judul-judul bab pada bagian awal buku ini. Dengan begitu, pembacanya seperti ditawari sebuah kesempatan untuk ikut merasakan betapa berwarnanya kehidupan Yap muda. Kondisi sosial di Aceh, misalnya, tentu berbeda dari kondisi di Jawa. Apalagi, kalau mau dibandingkan dengan kondisi lingkungan intelektual pada seminari di Oegstgeest yang menajamkan kemampuan Yap dalam menganalisis permasalahan sosial dan politik.

Selain itu, dalam buku ini diperkenalkan pula orang-orang yang ditemui Yap dalam pengembaraan itu. Dengan tekun dan teliti, Dan Lev mengurai satu persatu orang-orang di seputar Yap yang kemudian berpengaruh dalam hidupnya. Sedikit banyak, pembaca seperti dituntun untuk melihat dari dekat bagaimana profil seorang Yap Thiam Hien terbentuk.

Kemudian, dalam bab-bab selanjutnya, Dan Lev lebih terfokus pada pergulatan pemikiran Yap yang sebenarnya telah dirasakannya sejak masa mudanya, yaitu pertanyaan soal “identitas” dan “solidaritas”. Dilengkapi dengan konteks yang melingkupinya, Dan Lev menunjukkan bagaimana pemikiran Yap tersebut berproses dalam suatu ruang nyata yang terus bergolak. Guncangan itu mungkin bahkan sudah dapat pembaca rasakan dari judul-judul bab yang digunakan: Arus Deras, Terombang-ambing Dalam Politik Peranakan, Perang Baperki, Keluar Dari Kurungan Etnis.Buku tersebut, sebagiannya, memang menggambarkan pergulatan politik Yap memperjuangkan kesetaraan hak bagi golongan peranakan.

Bagi Anda yang tertarik mempelajari sejarah atau dinamika politik peranakan Tionghoa di Indonesia, buku ini perlu untuk dibaca. Terkait permasalahan golongan peranakan ini, Dan Lev tak hanya melulu terpaku sebatas pada pandangan Yap sendiri saja, tetapi dia menggali lebih jauh latar belakang sejarah politik dari masa Hindia Belanda. Di samping itu, dia uraikan pula pandangan politik masing-masing pihak yang saling berseberangan, baik itu di dalam Baperki, maupun di luar itu, seperti pendapat Siauw Giok Tjhan dan pendapat mereka yang disebut sebagai “sepuluh tokoh”. Ben Anderson dalam pengantarnya seperti menggarisbawahi topik perjuangan kelompok minoritas tersebut. Namun, jangan Anda pikir buku ini hanya semata cerita politik tentang orang-orang peranakan itu saja, karena pada kenyataannya perjuangan Yap memang lebih dari itu. Bahkan, kalau pembaca cermat mengamati, kesimpulan apa yang dapat diambil ketika sebuah simbol peradaban (dalam hal ini perguruan tinggi) yang dibangun oleh sebagian dari kelompok itu, di kemudian hari dihancurkan sendiri oleh sebagian lain dari kelompok yang sama?

Pada beberapa bagian dalam buku ini, sosok Yap Thiam Hien digambarkan sebagai seorang kristen taat (namun kritis), seorang nasionalis bijak (karena kritis), serta seorang advokat piawai (namun harus menelan pahitnya kenyataan politik di negerinya). Pada bagian terakhir “No Concessions” yang dilengkapi sumbangan berharga Sebastiaan Pompe dan Ibrahim Assegaf sebagai penutup, gambaran profil ketiga itulah yang menonjol. Terkait hal ini, Dan Lev mendokumentasikan hampir semua perkara besar yang melibatkan Yap. Bukan hanya dengan menceritakan duduk perkara atau menggambarkan proses persidangannya saja, namun Dan Lev juga menguak jalannya perkara dalam lingkup yang lebih luas.

Dalam latar politik Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, di mana kekuasaan kehakiman terkebiri, pertarungan seorang advokat bukan melulu soal penafsiran pasal peraturan saja, tetapi bagaimana menumbuhkan kesadaran pentingnya sistem yang mengatur kehidupan bersama: negara hukum. Belum lagi, perlu diberi catatan khusus, Yap juga mengalami sendiri gejolak politik terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1965. Jatuh bangunnya Yap, sebagaimana juga jatuh bangunnya cita negara hukum di Indonesiayang diperjuangkannya, digambarkan dengan sangat menarik oleh Dan Lev. Lokasi, orang-orang, peristiwa, konteks, sepertinya tak ada satupun aspek yang terlewat dari pengamatannya.

“No Concessions” seperti ditulis dengan tekun dari beberapa lapis substansi, sehingga memang harus dibaca pula dengan cara begitu. Pada awalnya, saya sendiri kesulitan dalam mencerna isinya yang padat dan pada beberapa bagian bahkan cenderung suram. Misalnya, salah satu ceritadi mana Yap duduk sendiri dalam sidang pengadilan yang dipenuhi orang-orang yang sepertinya bukan hanya sedang mengadili, namun menghakiminya. Menariknya, setelah menuntaskan buku ini dan mencermati kembali isinya satu persatu, saya seperti selalu menemukan hal-hal baru. Konflik-konflik politik dan perkara-perkara yang melibatkan Yap dipaparkan dengan segamblang-gamblangnya.

Di satu sisi, akan segera kita temui sosok protagonis yang dengan gagah berjibaku mempertahankan prinsip-prinsipnya, bagai seorang samurai yang bertarung di medan laga. Namun, begitu kita arahkan pandangan ke sisi sebaliknya, akan terbuka fenomena yang barangkali membuat kita muntah. Bagaimana tidak. Seorang Yap yang dikucilkan di Baperki karena dianggap “anti-komunis”, misalnya, tiba-tiba mendapatkan stempel “orang komunis” setelah rezim berganti, meski gampang sekali mencerna adanya motif lain di balik pemberian stempel itu. Lagipula, kalau Anda jeli, bukankah pembelaan Yap atas hak-hak prosedural tokoh-tokoh komunis itu juga yang digunakan sebagai legitimasi “negara hukum”-nya rezim baru itu? “No Concessions” seolah membawa sebuah pesan berharga bagi para pembacanya: mahkamah pengadilan dapat saja disabotase, tetapi itu bukan berarti mahkamah sejarah juga tersabotase. Atau, meminjam kata-kata dalam salah satu puisi Rendra: “Kita tidak sendiri dan terasing dengan nasib kita. Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.”

Sebagai ahli politik dengan disertasi tentang Demokrasi Terpimpin– yang notabene menjadi awal terpuruknya kapasitas dan wibawa institusi-institusi hukum di Indonesia, barangkali tak ada ahli politik sepiawai Dan Lev mampu menggambarkan dinamika itu. Kemudian, karena diceritakan oleh seseorang yang menjalin hubungan pertemanan puluhan tahun, bahkan membagi cita dan harapannya akan Indonesia dengan Yap Thiam Hien, kisah hidup pahlawan pembela HAM itu dapat mengalir dengan begitu alamiah. Akhir kata, melewatkan buku ini, bukan saja melewatkan kesempatan untuk mengenal sosok luar biasa yang pernah lahir dan berkiprah di Indonesia, tetapi juga untuk mengetahui tahapan-tahapan penting dalam sejarah politik negeri tersebut. “No Concessions” ini, sayangnya, belum dapat pembaca simak dalam bahasa Indonesia.

*) Resensi Buku “No Concessions” sebagaimana dimuat dalam Hukumonline (29/05/2013): http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51a58634975d6/tiada-kompromi–ketika-yap-thiam-hien-ditantang-seratus-dewa

1 Komentar

Filed under Kilas Sejarah

Tahun 2012: Perkara Narkotika, Ganti Rugi Pengelola Parkir, dan Kecelakaan Maut

Apa garis besar permasalahan hukum sepanjang tahun 2012 yang baru lewat beberapa minggu yang lalu?

Selain beberapa kasus politik hukum yang meliputi masalah konflik tanah di beberapa daerah, beberapa perubahan kebijakan terkait status dan jabatan hakim, kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan jabatan yang serius (termasuk yang melibatkan hakim agung), serta beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang berpengaruh besar pada perubahan kebijakan (misalnya kasus BP atau kasus RSBI), tahun 2012 meninggalkan catatan beberapa kasus hukum yang cukup menonjol. Dari pengamatan saya saja, termasuk dengan memperhatikan catatan Arsil di krupukulit, paling tidak ada tiga isu hukum yang menjadi perdebatan publik, bukan hanya karena nuansa politiknya (seperti kasus kawin siri seorang bupati tahun lalu), tetapi memang ada permasalahan (teknis) hukum yang kemudian berakibat serius pada kehidupan warga negara. Isu-isu hukum tersebut meliputi: perkara narkotika, ganti rugi pengelola parkir, serta (pertanggungjawaban pengemudi) dalam kecelakaan maut yang menimbulkan korban jiwa.

Perkara Narkotika: Nasib Hukum Acara di Ujung Tanduk

Apabila kita cukup jeli mengamati laporan tahunan Mahkamah Agung tahun sebelumnya, cukup mudah untuk menemukan data yang menunjukkan bahwa perkara-perkara narkotika merupakan salah satu kasus (pidana) terbanyak yang sampai ke meja para hakim agung. Sepanjang tahun 2011 saja, setidaknya terdapat 701 permohonan kasasi perkara narkotika. Jumlah ini memang masih di bawah permohonan kasasi perkara korupsi yang mencapai angka 963, tetapi masih jauh di atas perkara kasasi pidana umum terbanyak (kasus kekerasan) yang tak lebih dari 374 permohonan saja. Melihat kecenderungan pada pengadilan di tingkat bawah, misalnya di PN Jakarta Pusat (sekitar 900 perkara narkotika vs. sekitar 200-300 perkara pencurian), angka perkara narkotika yang masuk masih mendominasi perkara pidana yang diajukan ke pengadilan negeri. Dengan demikian, tak sulit untuk meramalkan bahwa tahun inipun (atau bahkan hingga beberapa tahun ke depan), perkara narkotika masih akan menjadi perkara pidana yang akan sering berlabuh di meja hakim agung, di samping perkara korupsi yang saat ini telah mendapat perhatian yang cukup besar dari publik.

Pertanyaannya, masalah hukum apa yang mesti dihadapi oleh para hakim agung?

Pertama, sebenarnya masalah klasik yang juga ada hubungannya dengan permasalahan Mahkamah Agung secara umum, yaitu terkait dengan pembentukan hukum atau konsistensi. Sehubungan dengan hal ini, bisa dicermati tulisan Arsil tentang inkonsistensi perkara narkotika, di samping banyaknya suara yang juga mempertanyakan adanya konsistensi dalam penjatuhan hukuman. Sepanjang tahun 2012 kemarin saja, kewibawaan Mahkamah Agung setidaknya dipertaruhkan karena adanya dugaan pengaturan hukuman yang dijatuhkan (kasus hakim agung Yamani). Bagaimanapun, ke depannya Mahkamah Agung akan dihadapi tantangan untuk konsisten dalam penerapan pasal, maupun penjatuhan hukuman pidana. Tapi apa sekedar untuk menjatuhkan hukuman saja? Jawabannya ada pada masalah hukum kedua yang juga harus dicermati oleh para hakim agung.

Kedua, perlu diperhatikan juga bahwa sepanjang tahun 2012 kemarin, praktek penanganan perkara narkotika menunjukkan adanya ancaman serius pada dipenuhinya asas-asas hukum acara. Bukan saja karena Mahkamah Agung sendiri yang dalam putusannya telah memperingatkan adanya praktek penjebakan oleh (oknum?) kepolisian, tetapi juga karena beberapa insiden yang menarik perhatian publik, seperti kasus razia liar yang meledak melalui twitter ini, atau bahkan salah tangkap yang menimbulkan korban salah tangkap di Kabupaten Kediri. Dalam kedua kasus tersebut, pelanggaran berat dan sistematis pada asas-asas hukum acara dapat segera dicegah atau sedikit banyak ditanggapi (meski gugatan ganti rugi korban salah tangkap urung diajukan, tetapi pelaku penganiayaan akhirnya dihukum tiga bulan oleh PN), karena adanya tekanan publik. Karena secara hukum, meski telah memperingatkan dalam putusannya, belum ada putusan Mahkamah Agung yang dapat dijadikan acuan standar untuk mengkritisi penerapan hukum acara atau praktek penjebakan dalam perkara narkotika, termasuk apabila dakwaan ternyata salah seperti dalam dua kasus yang diperbandingkan oleh Arsil ini. Yang jelas, saat ini terdapat satu kasus yang mempermasalahkan (minimnya) pembuktian dalam tahap Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung, setelah sebelumnya PN menjatuhkan hukuman pidana penjara 10 tahun untuk perbuatan “menerima” narkotika golongan I, hanya dengan berdasarkan bukti keterangan saksi dan hasil pemeriksaan urin untuk membuktikan perbuatan tersebut.

Ke depannya, tentu perlu perhatian lebih pada penerapan hukum acara dalam kasus-kasus seperti ini, antara lain dengan mengarahkan program bantuan hukum yang saat ini mulai dirintis (kembali) oleh pemerintah untuk menjangkau perkara-perkara tersebut. Mengapa perlu? Kalau anda perhatikan sepanjang tahun 2011 saja, denda yang dijatuhkan (baca: dapat dituntut oleh negara) di luar uang pengganti dalam perkara narkotika, jumlahnya jauh melebihi perkara korupsi (374,8 M vs. 53,8 M). Sementara itu, opini publik dalam kasus-kasus seperti ini masih cukup beragam, di satu sisi mendorong adanya tindakan tegas dan hukuman berat bagi para pelaku tindak pidana narkotika, namun begitu publik melihat praktek-praktek razia/penangkapan yang bermasalah, tak jarang berujung pada ketidakpercayaan pada aparat kepolisian.

Kesimpulan sampai sejauh ini, usaha mendorong dipenuhinya prinsip-prinsip hukum acara hanya efektif sebelum suatu kasus masuk ke pengadilan, yaitu ketika ada tekanan publik dan “aparat dan alat hukum” belum sepenuhnya bekerja. Karena begitu sampai ke ruang sidang, seolah tidak ada lagi proses yang seimbang, akibat tidak bekerjanya fungsi pembelaan. Berbeda dengan perkara korupsi yang memungkinkan terlibatnya pengacara-pengacara terpandang, tidak demikian halnya dengan perkara narkotika.

Ganti Rugi Pengelola Parkir: Bangkitnya Harapan Konsumen

Agak berbeda dari perkara pidana, untuk mengidentifikasi perkara perdata yang paling banyak diajukan ke Mahkamah Agung, kita akan dipaksa untuk meraba dalam suatu lorong yang gelap. Kalau melihat laporan tahunan Mahkamah Agung pada tahun sebelumnya, maka yang menempati posisi paling atas adalah masalah “tanah”, serta berikutnya masalah “ganti rugi”. Tapi kalau mau mencermati lebih jauh lagi, masalah “tanah” ini akan mengandung beragam aspek, mulai dari permasalahan titel hak (biasanya masuk ke ranah TUN), hingga permasalahan terkait dengan perjanjian yang terkait dengan tanah (misalnya perjanjian jual beli atau sewa menyewa tanah/rumah). Bisa jadi karena tetap tidak adanya kepastian soal hak-hak atas tanah (dan implementasinya) hingga saat ini. Pendeknya, itu bukan masalah hukum perdata yang bisa langsung diidentifikasi, serta dianalisis apa masalahnya. Bagaimanapun, terkait dengan masalah ganti rugi (anehnya dalam laporan tahunan dipisahkan dari PMH, wanprestasi, dan perikatan), tahun 2012 yang lalu mencatat perkembangan menarik sehubungan dengan perjanjian parkir.

Dalam beberapa kasus yang diangkat oleh media, maupun pernyataan Mahkamah Agung kemudian, pengelola parkir pada prinsipnya diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul akibat hilangnya kendaraan yang diparkir, sepanjang pemilik kendaraan dapat menunjukkan adanya perjanjian parkir. Tentu, adanya perjanjian parkir dapat dijadikan patokan adanya hubungan hukum di antara kedua pihak tersebut, tetapi ada tidaknya kewajiban itu, tentu harus dilihat lagi dalam kasus-kasus konkritnya. Bagaimanapun, masalah perjanjian parkir ini telah saya bahas dalam beberapa tulisan saya yang bisa dibaca di sini dan di sini. Kesimpulan sementara, meskipun saat ini masih terdapat tumpang tindih antara penggunaan perjanjian dan PMH sebagai dasar hukum untuk mewajibkan dibayarnya ganti rugi, namun ke depannya, saya pikir, Mahkamah Agung akan mendudukkan permasalahan ini dalam konteks hukum perjanjian (wanprestasi).

Kecelakaan Maut: Duka dan Amarah Publik

Selain perkara narkotika dan perjanjian parkir, masalah hukum biasa yang juga cukup menarik perhatian publik adalah perkara kecelakaan maut. Dalam kasus-kasus seperti ini, biasanya ada dua aspek yang kemudian menarik perhatian publik.

Aspek pertama terkait dengan perasaan simpati terhadap korban. Meskipun dalam prakteknya di Indonesia tak jarang pelaku memberikan “uang kerahiman” kepada keluarga korban sebagai kompensasi atas duka yang ditimbulkan, namun dalam beberapa kasus keluarga korban juga mengajukan gugatan perdata melalui pengadilan, termasuk keluarga korban kecelakaan maut yang terjadi awal tahun 2012 yang lalu.

Bagaimana praktek tuntutan ganti rugi seperti ini? Pertama, tentu akan tergantung pada musyawarah di antara keluarga korban dengan pelaku sendiri, seperti bisa kita lihat dalam bentuk uang kerahiman itu. Namun, kalau memang kemudian kasusnya masuk ke pengadilan, terdapat beberapa hal yang dijadikan pertimbangan oleh hakim seperti saya sarikan dalam sebuah tulisan saya tahun lalu, di antaranya meliputi: kondisi (tanggungan) keluarga korban, kemampuan ekonomi/sosial pelaku, sampai bentuk kerugian itu sendiri yang harus dapat ditunjukkan dapat dinilai dengan uang.

Aspek kedua yang tak kalah menarik perhatian adalah pertanggungjawaban (pidana) pelaku. Tindakan yang membahayakan nyawa orang lain di ruang publik (di jalan), tentu akan menjadi urusan publik. Begitu pula dalam kasus-kasus kecelakaan maut ini, biasanya akan diikuti dengan amarah publik terhadap pelaku. Ini bisa kita lihat bukan saja dalam kasus kecelakaan maut yang terjadi pada awal tahun 2012 saja, seperti telah saya bahas di sini, namun juga pada beberapa insiden kecelakaan yang terjadi sepanjang tahun.

Pertanyaannya, mengapa publik begitu marah? Satu dan lain, ini berhubungan dengan kinerja aparat hukum yang di mata publik tidak menerapkan suatu standar sistem yang obyektif dan konsisten, di mana setiap orang diperlakukan secara setara. Ini bukan masalah yang secara khusus terkait dengan kecelakaan maut (meski mungkin memang ada kasus yang melibatkan anak seorang menteri yang mengemuka awal tahun ini),  tapi masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan sistem pidana secara umum. Kasus yang tahun ini cukup menonjol, misalnya, kasus pencurian piring yang pernah saya bahas awal tahun 2012 di sini. Kasus ini tentu kontras dengan kasus-kasus pidana korupsi yang melibatkan beberapa (mantan) pejabat negara.

Menanggapi hal di atas, reaksi publik memang bisa dilihat menekan ke dua arah berbeda, yaitu (1) mendesak adanya hukuman yang lebih berat bagi si orang besar, serta (2) meminta hukuman yang proporsional bagi si orang kecil (itupun kalau terbukti bersalah). Namun, seperti kesimpulan perkara narkotika saya sebelumnya, saya pribadi cenderung memilih untuk lebih memperhatikan poin kedua. Bagaimana dengan anda?

Tinggalkan komentar

Filed under Kilas Sejarah, Perdata, Pidana

Pidato Sosrokartono: Bahasa Belanda di Hindia (1899)

(Naskah ini merupakan terjemahan dari pidato yang disampaikan oleh Raden Mas Pandji Sosrokartono dalam bahasa Belanda, pada Kongres Bahasa Belanda ke-25 di Belgia, sebagaimana dimuat dalam Neerlandia, tahun ketiga, Oktober 1899)

Nyonya-nyonya dan tuan-tuan sekalian!

Teman-teman! Sebuah salam untuk anda sekalian dari satu putera Jawa yang datang di sini, untuk menunjukkan rasa simpatinya pada Kongres ini. Teman-teman, begitu saya sebut anda sekalian, karena kita, walaupun berbeda ras, warna, tradisi, dan adat kebiasaan, bagaimanapun memiliki satu usaha bersama untuk mencapai satu tujuan yang sama: penyebarluasan dan penggunaan bahasa Belanda. Namun bedanya motif yang membawa kita ke sini. Apakah anda datang ke sini, didorong oleh cinta anda pada bahasa anda yang indah dan kokoh; saya mendatangi anda untuk meyakinkan manfaat mengetahui bahasa anda untuk kami, orang-orang Jawa.

Pertama-tama, saya ingin memberi anda gambaran pengetahuan akan bahasa anda di antara kami. Menurut perkiraan saya, karena saya tak dapat memberikan angkanya, banyaknya jumlah orang Jawa yang berbahasa Belanda hanya ratusan dari 26 juta jiwa. Sejauh yang dapat saya pikirkan, mereka adalah: murid-murid dan lulusan sekolah-sekolah petinggi, sekolah-sekolah pendidik pribumi, sekolah Dokter-Djawa, murid-murid sekolah di jemaat-jemaat Kristen pribumi, murid-murid Jawa pada Lagere-scholen, beberapa orang yang menikmati pendidikan privat, dan beberapa orang yang (pernah) duduk di Hoogere Burgerschool. Sebagaimana dijanjikan pada saya, murid-murid sekolah-sekolah petinggi, sekolah-sekolah pendidik untuk pribumi dan sekolah Dokter-Djawa berusaha dengan susah payah untuk dapat berbicara dan menulis bahasa Belanda dengan murni dan bagus. Mereka saling berbicara dalam bahasa Belanda, surat menyurat dalam bahasa Belanda, dan juga banyak membaca buku-buku, majalah-majalah, dan koran-koran berbahasa Belanda. Namun dalam lingkungan kerja di mana mereka ditempatkan, hal ini berbeda; di sana mereka ditempatkan berhadapan dengan pejabat-pejabat Belanda yang tidak mengijinkan pribumi bawahannya untuk berbicara dengannya dalam bahasa Belanda. (Karenanya) ketika bekerja, mereka tidak dapat mengembangkan pengetahuan praktis bahasa Belandanya lebih lanjut lagi. Selama orang pribumi menduduki posisi bawaha, maka tidak dapat terjadi pertukaran pemikiran dalam bahasa Belanda antara dia dengan pejabat-pejabat Belanda: Dari sudut pandang ini Dokter-Dokter Djawa (tuan-tuan mantri Jawa) secara umum lebih diuntungkan; mereka biasanya diijinkan untuk melayani dalam bahasa Jawa, sehingga pasien-pasien Belandanya dapat memahaminya dengan baik. – Pejabat-pejabat pribumi, meski begitu, harus berusaha bertahun-tahun lamanya, hingga memegang sebuah jabatan yang memberinya kehormatan untuk (boleh) diajak berbicara dalam bahasa Belanda: saat itu baru dirinya boleh menggunakan bahasa Belandanya yang bertahun-tahun sebelumnya tersia-sia. Namun berapa banyak yang tak pernah dapat keuntungan ini! Jadi sia-sia saja pengetahuan yang mereka pelajari! – Bagaimanapun, orang pribumi mendapatkan kesempatan untuk berbicara dalam bahasa Belanda, dan itu dengan orang-orang Belanda, yang karena posisi sosial mereka tidak dapat atau tidak berani menuntut penghormatan yang tinggi – namun yang bahasa Belanda mereka sangat kurang.  – Tentu saja ada perkecualian. – Bagaimana bahasa Belanda di kalangan jemaat-jemaat Kristen, tentang hal tersebut saya tak dapat menceritakan hal positif satupun. Pendapat saya, para anggota yang membentuk kesatuan tertutup, dapat saling mengambil manfaat bahasa Belanda!

Terkait dengan murid-murid Jawa pada sekolah-sekolah rendah, mereka ini tidak selalu mendapat kesempatan untuk mendengar dan berbicara dalam bahasa Belanda. Pertama, terdapat beberapa orang yang, terutama pada mulanya, menggunakan bahasa Melayu terhadap teman-teman Belanda mereka, karena mereka lebih mudah mengungkapkan ekspresi mereka. Kedua, di sekolah-sekolah, terutama di pedalaman, penuh dengan murid-murid Belanda yang bahasa Melayu atau Jawanya lebih bagus dari bahasa Belandanya, atau, jika mereka berbahasa Belanda, bahasanya kurang pas-pasan. Apakah mungkin, dengan kondisi semacam ini, orang Jawa dapat belajar bahasa Belanda yang murni? Terlebih lagi orang Jawa sangat terpengaruh oleh bahasanya: ia sangat terbiasa dengan konstruksi kalimat Jawa atau Melayunya. Ketika berbicara bahasa Belanda dia ikuti konstruksi tersebut, sedangkan, apabila dia tak mengenal suatu kata Belanda, tanpa tedeng aling-aling dia tambahkan kata Jawa atau Melayu dalam kalimatnya. Dengan begitu muncul suatu bahasa yang lebih asyik terdengar di telinga orang Belanda yang ingin saya juluki “Indo-Belanda”. – Bahasa yang tidak biasa ini tidak hanya dimengerti, tetapi juga digunakan untuk berbicara dan menulis oleh sejumlah orang-orang Indo-Belanda. – Sementara di sisi lain cukup banyak contoh yang membuktikan bahwa orang-orang Jawa juga dapat berbicara dan menulis bahasa Belanda dengan bagus. – Saya masih ingin menyampaikan, bahwa menurut surat-surat dari pendidik, dan menurut almarhum Tuan J.M. Rosskopf, ketika hidup merupakan pengawas pendidikan rendah, terdapat murid-murid Jawa yang layak mendapatkan pujian. – Menurut surat-surat yang sama, para murid Jawa sangat rajin dan mendapatkan nilai-nilai tertinggi di antara teman-teman Belandanya. – Menurut pendapat saya tidak ada metode yang lebih baik bagi pemuda-pemuda Jawa untuk dapat belajar bahasa Belanda, selain menempatkannya dalam kondisi di mana dirinya dipaksa untuk dapat berbicara dan berpikir dalam bahasa Belanda. Tujuan ini dapat dicapai, antara lain, dengan menempatkan pemuda-pemuda itu tinggal (indekos) di tempat keluarga Belanda, atau pada asrama sekolah. Ini adalah metode yang selalu diikuti oleh ayah saya. Karena anak Jawa yang hanya mendengar bahasa Belanda digunakan di sekolah, serta berbicara dan berpikir dalam bahasa Jawa di rumah, tidak akan mudah membuat kemajuan. Namun keberatannya, tidak banyak yang dapat menanggung biaya pendidikan semacam itu.

Sebuah contoh yang tidak biasa dan mengagumkan dari bakat-bakat bagus untuk belajar bahasa Belanda, dapat saya sampaikan kepada anda, dimiliki tiga gadis Jawa. Sebelumnya saya minta maaf, apabila di sini saya menggunakan saudara-saudara perempuan saya sendiri sebagai contoh, karena alasan yang sederhana, yaitu paling jelas (saya ketahui). – Pendidikan saudara-saudara perempuan saya sangat sederhana: mereka mengikuti pelajaran-pelajaran pada sekolah rendah pribumi kelas 2 di Jepara. Dengan pengetahuan mendasar yang mereka dapatkan di sana, mereka jadi bisa mengembangkan pengetahuannya, dan dengan belajar sendiri mereka dapat mengembangkan diri, sehinga mereka dapat memberikan sumbangan karya sastra dalam bahasa Belanda untuk majalah-majalah, serta surat menyurat dengan beberapa tokoh terkenal dalam dunia sastra Belanda, antara lain dengan Johanna van Woude dan Justus van Maurik, yang dalam surat mereka, akan saya bacakan untuk anda, menuliskan pendapat mereka.

Terkait dengan pendidikan privat, terdapat beberapa petinggi yang anak-anaknya, baik putera, maupun puteri, mereka sekolahkan pada seorang pejabat atau pendidik. Ya, bahkan saya juga mengenal seorang Bupati perempuan yang belajar bahasa Belanda dari seorang pendidik, karena Bupati (semestinya) berbahasa Belanda. Bahasa Belanda bagaimanapun sekedar bahasa di mana di dalamnya mereka mempertahankan diri. – Selanjutnya juga terdapat petinggi-petinggi Jawa yang menempatkan anak-anaknya di tempat keluarga Belanda untuk belajar bahasa Belanda, atau untuk mendapatkan pendidikan secara umum. – Saya juga ingin menunjukkan hasil-hasil memuaskan, yang didapatkan almarhum Pangeran Demak, yang menyekolahkan puteranya pada pejabat pemerintah. Mereka yang lebih ahli dari saya, dapat menyaksikan ini.

Murid-murid Jawa pada Hoogere Burgerscholen selalu sangat sedikit jumlahnya. Ini gejala yang kurang bagus, hal ini menurut hemat saya disebabkan oleh banyaknya anak-anak Jawa, yang menyenyam pendidikan sekolah rendah di pedalaman, atau terlalu awal meninggalkannya, atau tidak mendapatkan kesempatan, karena terbatasnya kemampuan mereka, untuk melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burgerscholen. Karena, untuk dapat mengenyam pendidikan seperti ini, mereka harus tinggal di satu dari tiga kota besar: Batavia, Semarang, Surabaya. Pembelian alat-alat sekolah, serta pakaian Belanda, buat banyak orang masih merupakan pengeluaran yang terlalu berat. – Beberapa murid Jawa meninggalkan Hoogere Burgerscholen, karena terbatasnya energi atau karena alasan lain, ketika mereka telah melalui beberapa kelas. – Hingga saat ini hanya ada 3 orang Jawa, yang mengikuti ujian akhir di Hindia. Sebagai contoh-contoh teladan, saya ingin menyebut Raden Mas Oetojo, yang menuliskan artikel-artikel dalam harian ‘Locomotief’ dalam bahasa Belanda yang sangat bagus dan jelas berkelas. Juga pada Hoogere Burgerschool, orang-orang Jawa telah jelas membuktikan, bahwa mereka mampu bersaing dengan orang-orang Belanda.

Terakhir saya ingin memberikan perhatian pada kehadiran putera-putera petinggi Hindia di negeri ini, yang ingin menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasanya sendiri. Tiga putera Pangeran Haria Mataram ada di Den Haag, beberapa putera Sultan Koetei tinggal di asrama sekolah di Voorburg; satu putera Pangeran Pakoe Alam di Hoogere Burgerschool di Nijmegen. Melengkapi itu, saya sebut diri saya sendiri sebagai seorang calon mahasiswa bahasa dan sastra Hindia.

Masuknya 37 saudara sebangsa saya dalam Perkumpulan Bahasa Belanda Umum, di mana saya ingin menyelamati anda semua dan diri saya sendiri, saya sambut sebagai sebuah peristiwa yang positif dan menggembirakan.

Sekarang saya ingin menunjukkan kepada kita pentingnya, serta manfaat dari bahasa Belanda.

Pertama-tama, demi kepentingan anda sendiri. Ingin saya jelaskan kepada anda, bahwa di antara masa penduduk pribumi yang besar itu, simpati kepada anda yang anda harapkan itu, tidak ada; Ya, banyak sekali ketidakpedulian. – Tak kenal, maka tak sayang. – Jadi ada semacam keengganan, ini semacam sisa tradisi. – Kelompok masa yang besar itu tidak menyadari untungnya pemerintahan Belanda. Seperti hewan pengangkut barang yang dibebani dengan buah-buahan yang lezat, mereka tidak bisa menikmati, tidak juga menyadari nilainya, meski mereka rubuh menanggung beban itu, begitu halnya bangsa Jawa tidak dapat menilai belas kasihan yang anda berikan. – Ajarkan kepada orang Jawa bahasa anda, agar dia dapat lebih memahami anda; agar dia dapat membandingkan kondisinya di bawah petinggi-petingginya sendiri dengan di bawah kekuasaan Belanda; agar dia, di tengah perjalanan mungkin berubah, memuji anda sebagai penyelamatnya. – Ajarkan kepada orang Jawa, dengan bahasa anda, bagaimana merasakan rasa terima kasihnya kepada anda yang dapat membuat anda menuntut keadilan, sehingga, apabila ada orang asing mencoba mengusir anda dari tanah kami, anda dapat meminta pertolongan dan kesetian dari 26 juta orang Jawa.

Juga dalam prakteknya, terutama untuk pejabat Belanda, akan sangat mudah apabila pejabat Jawa dapat mengerti dan berbicara dalam bahasa Belanda. Dia akan dengan mudah mendengar paparan permasalah-permasalahan paling sulit sekalipun dalam bahasanya sendiri.

Terkait dengan pekerjaannya, akan banyak waktu, juga tenaga, dapat dihemat, jika bahasa Belanda diwajibkan sebagai bahasa kerja, sementara saat ini banyak waktu terbuang untuk mengubahnya ke dalam bahasa Jawa atau Melayu.

Dalam rangka pembelajaran bahasa, negeri, dan bangsa, pengetahuan akan bahasa Belanda juga diperlukan. Penelitian untuk orang Belanda akan jadi lebih mudah. – Melalui surat menyurat dengan orang-orang Jawa, dengan sumbangan mereka maka ilmu pengetahuan akan diuntungkan. Terlebih lagi orang pribumi, dilengkapi dengan pengetahuan bahasa Belandanya, juga dapat mengetahui (penelitian-penelitian) tentang dirinya, atau berasal darinya, yang ditulis oleh peneliti Belanda. Dan seringkali, peringatan dan saran (tanggapan yang ia (berikan) tidaklah berlebihan. Saya percaya banyak peneliti yang membatin: “Saya sebenarnya berharap, dia dapat mengatakannya (tanggapan itu) dalam bahasa Belanda.”

Sedikit negeri-negeri di dunia ini yang begitu buruk dipahami sebagaimana Jawa kami. Banyak orang di Belanda yang tidak mengenal kami. Hampir setiap hari saya lihat contoh nyata dari hal tersebut. – Banyak jumlahnya, orang yang hanya mengenal kami secara dangkal, sementara sedikit sekali orang yang mengerti bangsa kami, yang menyayangi dan ikut merasakan, serta mengenal harapan-harapan kami. Mereka yang sedikit itu mengajarkan kami kasih sayang. – Banyak yang ditulis tentang Jawa, namun seringkali digunakan ukuran penilaian yang keliru; seringkali kami dinilai dan dihakimi, tanpa kami tahu penilaian atau vonis itu: karena kami tidak mengenal bahasa anda. Terhadap suatu bangsa secara keseluruhan, vonis dijatuhkan, tanpa diberikan seorang pembela sekalipun. Namun ini akan berubah.

Sebuah pergaulan yang bebas dan tanpa paksaan, antara orang Belanda dan orang Jawa dengan bahasa Belanda sebagai kendaraan untuk membawa pemikiran keduanya lebih dekat lagi. Perkenalan yang mendasar ini akan berlanjut dengan sendirinya pada perasaan untuk lebih saling menghargai, serta simpati yang lebih mendalam. Apakah hal ideal ini akan dapat dicapai? Kita harap begitu. Apakah anda, sebagai penakluk, akan dapat turun untuk mengenal kami dengan lebih baik? Tidak, itu tak akan dapat anda lakukan. – Tapi itu tergantung pada kami, untuk mengangkat diri kami sejajar dengan anda,  – akankah anda ulurkan tangan anda kepada kami?

Maka akan hilang praduga anda terhadap kami; maka anda akan lihat, bahwa kami lebih baik, dari kelihatannya; bahwa kami juga dikaruniai akal sehat, dan bahwa kami dapat mempelajari, apa yang anda pelajari, apabila kami memang menginginkannya.

Kami masih anak-anak, tak tahu apa-apa, dibandingkan dengan anda. Dua setengah abad sudah kami berjalan sebagai anak di bawah umur, di bawah titahan Belanda. Dan bagaimanapun, pertanyaannya, bagaimana dengan perkembangan jiwa anak tersebut? Secara materiil dan fisik maju, tetapi jiwanya kekurangan: dia hanya seorang anak yang (tubuhnya) besar. – Tak dapat dipungkiri, bahwa si anak secara kejiwaan akan berkembang, meskipun hanya melalui hubungan dengan penitahnya. Dan besar kemungkinan di masa yang akan datang, akan sangat tergantung pada pendidikan moral dan kejiwaannya pada tahap awal, apakah pembimbing hidupnya memperlakukannya sebagai ayah, sebagai saudara, sebagai teman, ataupun sebagai orang asing atau musuh. – Namun sebegitu jauh belumlah terjadi – dan sejauh ini abad pertama belum juga terlampaui. Hal ini penting, mumpung sekarang belum terlambat, antara penitah dan anak ditumbuhkan rasa simpati dan sayang, yang hanya akan bertambah kuat seiring waktu.

Berikanlah kepada kami santapan rohani yang menjadi hak kami. Bukalah bahasa Belanda bagi kami sebagai kunci untuk memasuki kamar-kamar harta karun pengetahuanmu; si anak haus akan pengetahuan; dia merasakan itu, dia butuh sesuatu.

Tumbuhkan dan siangi kecintaan pada ilmu pengetahuan, terutama cinta kepada bahasa anda, dan anda tumbuhkan cinta kepada bangsa anda, negeri anda, juga lingkungan Kerajaan anda!

Dan engkau, putera-putera Jawa, untuk siapa saya berani katakan ini; dengarlah, waktu berputar, saatnya anda bangun dari tidur memabukkan anda untuk mempertahankan hak-hak anda: hak untuk bersaing dengan semakin banyak orang dalam peradaban dan kemajuan, dalam pengetahuan, kecermatan dan ketekunan: dengan begitu anda akan menjadi anugerah bagi negeri anda! Lucuti diri anda dari belenggu prasangka, yang masih menindas anda, kembangkan diri mendekati bakat anda dan biarkan karakter anda meningkat pesat! Berusahalah terus menerus untuk mencapai ideal: pembangunan; bangunlah seluruh energi anda untuk membantu membentuk bangsa kita dari anak menjadi orang dewasa.

Untuk kepentingan anda, saat dengar pendapat dengan Yang Mulia, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, pada tanggal 14 agustus, saya menunjukkan perlunya penyebarluasan pengetahuan bahasa Belanda, terutama di kalangan putera-putera petinggi Hindia, yang akan berakibat pada hilangnya bermacam-macam salah paham. Yang Mulia menunjukkan persetujuannya dengan kata-kata saya. – Bangunlah, kalian para putera Jawa, dan sambutlah bukit pengetahuan yang menjulang di hadapan anda.

Sangat jauh dari maksud saya untuk membuat anda sekalian menjadi orang-orang Belanda. Pertama-tama, anda harus menjadi dan tetap menjadi orang Jawa. Anda dapat menjadikan perkembangan Eropa menjadi bagian anda sendiri, tanpa harus melepaskan kepribadian dan keunikan anda. Bahasa anda sendiri harus anda kuasai dan di samping itu bahasa Belanda; bukan untuk menggantikan, namun untuk memperkaya pengetahuan anda. Tumbuhan membutuhkan air, udara, untuk perkembangannya; ia tak perlu melebur menjadi air atau udara, sementara ia tetap dapat mengembangkan dirinya. Dengan pasti saya tegaskan bahwa saya akan menjadi musuh dari siapa saja yang akan membuat kita menjadi orang Eropa atau setengah Eropa, dan hendak menyingkirkan tradisi-tradisi dan adat kebiasaan kita yang suci. Selama matahari dan bulan masih bersinar, itu akan saya lawan.

***

Dan sekarang saya ingin beranjak menuju pembahasan pada cara-cara yang dapat memajukan kepentingan kita bersama.

Pertama-tama, setiap orang Belanda semampu mereka untuk ikut berpartisipasi, baik dalam lingkup terbatas, maupun lingkup yang luas. Dengan sepenuh hati saya berharap, terutama dari para pejabat yang banyak bersentuhan dengan para pribumi. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk untuk menumbuhkan dan merawat cinta untuk kecintaan pada bahasa Belanda. Hal ini juga bisa mereka lakukan dengan mengajak bicara orang-orang Jawa berbahasa Belanda untuk berbicara dalam bahasa Belanda, serta membiarkan mereka memberikan jawaban dalam bahasa tersebut. Ini menjadi tanggungan mereka untuk cinta mereka pada tanah airnya; dan secara moral mereka juga wajib untuk memberikan, selain hal-hal yang bersifat material, juga memenuhi dan memajukan kebutuhan intelektual jutaan orang yang berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimana anda mempunyai kecintaan pada bahasa anda, bangsa anda, negeri anda, serta lingkungan kerajaan anda, tumbuhkan juga kecintaan pada bahasa anda itu. Sebagai orang Belanda yang sebenarnya, anda wajib melakukan itu. Saya tahu, bahwa usulan saya akan mendapatkan perlawanan dari banyak pejabat, serta bukan-pejabat, yang menempatkan dirinya pada posisi mulia yang minta dipuja-puja; tapi saya persalahkan mereka karena cintanya yang kurang pada bahasa mereka. Dan izinkanlah saya, saya sendiri berasal dari ras kulit coklat, untuk memastikan kepada anda, bahwa orang-orang Jawa yang memberikan baktinya kepada raja-rajanya sendiri, tidak akan begitu saja memberikannya kepada orang-orang asing. Jika ada yang melakukan itu, maka itu dilakukan dengan keengganan: – Orang sering berlindung di balik kata prestise; baiklah, itu kepunyaan sah sang penakluk. Tetapi haruskah presite ini dicari dengan menggunakan suatu bahasa asing dan menyangkal bahasanya sendiri?

Suatu kebiasaan aneh banyak orang Belanda adalah menertawakan dan mengejek orang-orang asing yang berbicara dalam bahasa mereka dengan pas-pasan, ketimbang mengapresiasi usaha mereka dan menunjukkan sebagaimana semestinya. Saya berulangkali menjadi saksinya. – Akankah ini mendorong orang untuk belajar bahasa Belanda? – Saya tidak cukup kuat untuk memprotes kebiasaan ini. Hal ini tak pernah saya temui, baik orang Perancis, orang Inggris, atau orang Jerman, bahkan orang Jawa sendiri tidak begitu. – Saya pastikan pada anda, bahwa orang Jawa yang mengerti bahasa Belanda, membaca dan menulis, akibat ejekan yang kekanak-kanakan ini terhambat untuk mengucapkan satu kata Belanda sekalipun!

Sebagai gambaran idealnya saya usulkan suatu pergaulan yang bebas dan tanpa paksaan antara orang-orang Jawa dan orang-orang Belanda, tentu sejalan dengan bakat dan perkembangan masing-masing; dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan; tukar pikiran yang bebas.

Saya ajukan tuntutan pada semua orang Belanda, baik di Belanda, maupun di Hindia, untuk mendorong usaha ini di lingkungan masing-masing, karena hanya mereka dapat menjadikan ini permata dan kehormatan.

Dan juga satu tuntutan yang kuat. Berikanlah, para pendidik dan pemimpin, santapan rohani kepada kami yang menjadi hak kami; jangan rampas ini dari kami. Perhatikan aspirasi dari Hindia saat ini; penuhi tuntutan dan keperluannya. Berikanlah kepada orang Jawa cukup kesempatan untuk menjadikan ilmu pengetahuan Barat sebagai miliknya sendiri. – Bangunkan dia dari selimut ketidakmampuan; tunjukkanlah cahaya untuk lepas dari kegelapan ketidaktahuan. Di sini anda hanya cukup memenuhi tugas yang anda ambil sendiri secara sukarela; dan perbaikilah satu kelalaian ini. Bukalah di mana-mana dan sebanyak mungkin kesempatan untuk orang Jawa yang haus pengetahuan untuk menghapus dahaganya, dan perwalian anda akan menjadi berkah bagi jutaan orang. – Perluas pengajaran bahasa Belanda untuk putera-putera Jawa, agar tidak terbuang tenaga yang dikeluarkan, yang dapat semestinya dapat membuktikan satu bakti pada bangsanya. – Kami merasakannya, kami menyadarinya, bahwa selain nasi dan daging kering, kami juga butuh makanan untuk orang-orang yang berpikir. – Kami saksikan kereta-kereta tanpa kuda bergulir di atas jalur-jalur baja; kami melihat kapal-kapal mengarungi lautan bebas tanpa layar; kami melihat cahaya, tanpa disulut; kami lihat banyak hal yang bagi kami hanya merupakan keajaiban dan misteri. – Atau kami akan menganggap, bahwa orang Jepang dapat berkembang bebas dan pesat, orang Amerika menciptakan keajaiban-keajaiban, yang kami dengar sebagai dongeng-dongeng dan cerita-cerita fabel, tanpa dalam diri kami sendiri tumbuh keingintahuan, suatu dorongan untuk ingin tahu lebih banyak lagi. – Perhatikanlah aspirasi-aspirasi kami; kami tidak kekurangan niatan baik; kami hanya kekurangan kesempatan.

Dengan serius saya mohon, berikan simpati dan sayang itu pada Insulinde yang berhak atasnya. Dan anda, para penguasa, yang di satu tangan menjadi juru selamat perdamaian, sedang di tangan yang lain menjadi pencipta peradaban, bantulah tumbuhnya persaudaraan antara anda dan rakyat anda.

Sebagai pengikut, murid dan saudara, saya datangi anda; dan jika anda mendengar harapan saya, maka orang yang datang ke sini untuk meminta simpati anda, telah merasa sangat dihargai.

Marilah teman-teman dan saudara-saudara saya, kita saling mengulurkan tangan dan bekerja bersama tanpa hambatan untuk kepentingan kita bersama.

Marilah kita dekatkan hubungan pertemanan dan persaudaraan, agar ideal dari segenap bangsa dapat tercipta, masih di bawah pemerintahan ratu yang kita cintai.

Dan aku lihat menyingsingnya fajar suatu masa yang akan datang, di mana pada malam-malamnya yang dingin di bawah sinar bulan, orang Jawa, disertai dengan nada manis yang terdengar dari gamelan, mengirimkan hymne dan lagu-lagu terima kasih ke surga untuk mengenang saudara-saudara kulit putihnya.

 

3 Komentar

Filed under Kilas Sejarah

Kasus Rawagede (Pengadilan Den Haag, Perdata, 354119/HA ZA 09-4171)

Kalau sampai para penasehat hukum Presiden SBY mendengar kabar ini, pasti dia akan terkejut setengah mati. Negara (pemerintah) diperintahkan hakim untuk membayar ganti rugi? Logika apa itu? Logika seperti itu jelas tidak sampai di nalar mereka, paling tidak kalau kita berkaca dari alasan batalnya kunjungan SBY ke Belanda akhir tahun lalu.

Tapi kenyataannya di Belanda, toh seperti itu, pemerintah tak bisa memberikan jaminan bahwa pendapat atau kemauannya dapat mengikat pengadilan. Begitu setidaknya esensi pertama yang bisa kita baca dari putusan Pengadilan Den Haag dalam perkara perdata yang mengabulkan gugatan ganti rugi korban pembantaian Rawagede terhadap pemerintah Belanda (perkara nomor 354119/HA ZA 09-4171). Pengadilan menyatakan pemerintah salah, bukan hal yang luar biasa. Meskipun, harus diakui, sebagaimana diungkapkan oleh pengacara para korban, di Belanda sekalipun mempermasalahkan pelanggaran hukum pada masa kolonial ke pengadilan bukanlah hal yang mudah.

Tapi mari kita kesampingkan dulu perasaan-perasaan itu, untuk melihat lebih jauh apa isi dari putusan Pengadilan Den Haag dalam kasus Rawagede.

Pertama-tama, Pengadilan berangkat dari fakta sejarah bahwa Indonesia (d/h Hindia Belanda) pada dasarnya merupakan bagian dari Kerajaan Belanda sampai tahun 1949. Bahwa Indonesia dinyatakan merdeka oleh Soekarno-Hatta pada tahun 1945, pada awalnya tidak diakui oleh pemerintah Belanda. Peristiwa Rawagede ini terjadi pada bulan Desember 1947, yaitu ketika tentara Belanda menembak mati para penduduk Rawagede tanpa ada prosedur hukum sama sekali, di mana korban (salah satu penggugat) saat itu juga ikut terluka.

Pada bulan Januari 1948 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan laporan yang menyatakan bahwa tindakan tentara Belanda di Rawagede “deliberate and ruthless”. Di Belanda sendiri, pada bulan Juli 1948 terjadi surat menyurat antara komandan tentara Belanda dengan pihak penuntut yang pada intinya menyimpulkan bahwa penuntutan terhadap para tersangka kasus Rawagede dihentikan. Pada tahun 1969, setelah perdebatan di parlemen, terungkap sikap pemerintah Belanda yang menegaskan bahwa pemerintah Belanda tetap akan menghentikan penuntutan pidana karena dalam banyak perkara penuntutan sudah tidak mungkin dilakukan, karena keterbatasan kelengkapan alat bukti, atau kalaupun ada, deliknya sendiri sudah kadaluwarsa.

Pada tahun 1995, dalam surat pihak kejaksaan kepada kementerian hukum (pemerintah) Belanda, disimpulkan bahwa benar ada tindak pidana yang dilakukan pada tahun 1947 di Rawagede yang bisa dijerat sebagai tindak pidana militer, serta ketidakpastian apakah kasus ini termasuk kasus yang jangka waktu kadaluwarsanya dihapuskan. Jika, katakanlah, kasus ini tidak kadaluwarsa, kejaksaan beranggapan bahwa tuntutan akan dinyatakan tidak dapat diterima, karena keputusan pemerintah Belanda sendiri pada tahun 1969 (untuk menghentikan penuntutan), putusan sepot (deponering) yang telah dikeluarkan pihak kejaksaan sebelumnya, lamanya waktu dihentikannya tuntutan atas delik pidana terkait, serta kemungkinan adanya komplikasi pemberlakuan peraturan pidana militer (antara peraturan yang berlaku tahun 1945-1950 dengan peraturan yang berlaku saat ini).

Dalam pernyataannya kepada parlemen kemudian, kementerian hukum (pemerintah) Belanda menyatakan bahwa dihapusnya jangka waktu kadaluwarsa kejahatan perang pada tahun 1971, bukan termasuk kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia pada periode 1945-1950. Pada intinya pemerintah Belanda tetap bersikukuh bahwa tindak pidana yang terjadi pada tahun 1947 di Rawagede itu tidak bisa lagi dibawa ke pengadilan.

Pengacara para penggugat mengajukan dalil bahwa negara (secara perdata) bertanggungjawab atas tindakan tentara Belanda di Rawagede dan wajib membayar ganti rugi terhadap para korban Rawagede, baik berdasarkan perbuatan melawan hukum, maupun berdasarkan perikatan moral.

Setidaknya terdapat dua tindakan negara yang menurut pihak penggugat merupakan perbuatan melawan hukum:

  1. Eksekusi itu sendiri, di mana negara seharusnya melindungi warga negaranya sebagaimana termaktub dalam konstitusi dan undang-undang tindak pidana militer, tak terkecuali perlindungan terhadap penduduk Rawagede;
  2. Penghentian penuntutan serta proses terhadap eksekusi yang dilakukan oleh tentara Belanda, di mana negara seharusnya menjamin hak hidup warga negara, termasuk mengambil tindakan untuk melindungi mereka sebagaimana dijamin Pasal 2 Konvensi HAM Eropa.

Selanjutnya pengacara penggugat juga mendalilkan kerugian yang dialami oleh para korban pembantaian Rawagede yang berupa harta kekayaan maupun kerugian immaterial.

Pihak tergugat (negara) dalam hal ini pada prinsipnya berpegang pada dalil bahwa gugatan yang diajukan oleh para penggugat telah kadaluwarsa (lewat lima tahun). Menurut interpretasi tergugat atas putusan Hoge Raad selama ini, ketentuan bahwa jangka waktu kadaluwarsa dapat dikesampingkan pada hal-hal tertentu hanya berlaku setelah diakuinya asas kepatutan dan kepantasan dalam BW baru. Itupun hanya menyangkut kerugian yang tidak bisa ditentukan sebelum jangka kadaluwarsa tersebut lewat. Pertanggungjawaban atas hal yang terjadi 62 tahun lalu dalam kasus ini jelas tidak termasuk dalam gugatan yang dapat dikesampingkan jangka waktu kadaluwarsanya. Lagipula, menurut pihak tergugat lebih lanjut, pada tahun 1966 telah ada perjanjian antara pihak Belanda dan pihak Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan finansial masa lalu.

Pendapat pihak tergugat di atas ditolak oleh pihak pengadilan yang menyatakan bahwa tidak ada batasan bahwa asas kepatutan dan kepantasan hanya berlaku untuk peristiwa hukum dalam lingkup BW baru saja. Juga di bawah pengaturan BW lama, jangka waktu kadaluwarsa dapat dikesampingkan, apabila tidak memenuhi asas kepatutan dan kepantasan (dulu diformulasikan sebagai itikad baik). Karenanya pula, pertanyaan apakah gugatan yang telah kadaluwarsa ini tetap dapat dianggap berlaku atau tidak, harus dengan mempertimbangkan pula fakta-fakta terkait berdasar asas kepatutan dan kepantasan.

Bagaimanapun juga, dalam pendapat akhirnya, pengadilan memutuskan bahwa dilihat dari seriusnya kesalahan yang dilakukan oleh negara, pengadilan berpendapat bahwa jangka waktu kadaluwarsa untuk gugatan atas pertanggungjawaban terkait eksekusi di Rawagede itu tidak memenuhi rasa keadilan, sementara untuk gugatan atas pertanggungjawaban terkait dihentikannya penuntutan jangka waktu kadaluwarsa masih tetap bisa dianggap berlaku. Menurut pendapat Pengadilan Den Haag, begitu fakta mengenai dihentikannya penuntutan terbuka pada tahun 1969, saat itu pula gugatan seharusnya sudah dapat diajukan dan berlaku untuk masa lima tahun. Dengan demikian, gugatan tersebut telah kadaluwarsa.

Perlu dicatat, Pengadilan Den Haag juga membatasi bahwa kerugian yang diderita akibat eksekusi yang dilakukan tanpa proses hukum sama sekali pada tahun 1947 itu, pada dasarnya hanya langsung menyentuh para korban eksekusi dan para janda korban. Kerugian ini tidak menyentuh secara langsung keturunan korban pada generasi selanjutnya.

Karena pengadilan menilai bahwa kadaluwarsa terkait dengan eksekusi yang dilakukan tanpa proses pengadilan pada tahun 1947 tidak memenuhi rasa keadilan, maka bantahan dari pihak tergugat tidak dapat diterima. Pernyataan tergugat bahwa jangka waktu kadaluwarsa harus ditaati karena terkait dengan masalah kepastian hukum, menurut pendapat pengadilan harus dilihat dalam konteks kepentingan yang dilindungi dalam pemberlakuan jangka waktu kadaluwarsa.

Pada dasarnya jangka waktu kadaluwarsa perlu ada untuk melindungi debitur dari tuntutan hukum (tak berdasar) yang lahir di kemudian hari, di mana alat bukti yang dapat mendukung bantahannya telah hilang ditelan waktu sehingga dirinya tidak dapat lagi mempertahankan diri secara memadai terhadap tuntutan hukum tersebut. Dalam hal ini, pemerintah Belanda sendiri telah mengakui terjadinya tindakan, serta pelanggaran hukum dalam tindakan itu, sehingga pemberlakuan jangka waktu kadaluwarsa untuk tetap melindungi posisi hukum pemerintah tidak lagi relevan.

Berdasarkan penilaian pengadilan tersebut di atas, maka Pengadilan Den Haag dalam putusannya menyatakan negara telah melakukan perbuatan melawan hukum dan bertanggungjawab atas itu, serta memerintahkan pembayaran ganti rugi kepada korban pembantaian di Rawagede pada Desember 1947.

————————————————————-

7 Komentar

Filed under Kilas Sejarah, Perdata