Mahkamah Konstitusi dan Kebijakan Harga BBM

Polemik penentuan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) meluas dan memancing berbagai macam perdebatan. Kini, perdebatan itu bukan lagi terjadi pada wilayah politik dan ekonomi saja, namun juga menyentuh wilayah hukum. Namun apa yang bisa ditawarkan hukum untuk masalah yang sebenarnya berlatarbelakang politik dan berdasarkan perhitungan ekonomi ini? Sebenarnya tak sebesar yang bisa diharapkan oleh banyak orang. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menjelaskan sejauh menyangkut permasalahan substansial (material), tanpa menyentuh permasalahan prosedural ketentuan terkait.

Pertama, dari sisi legitimasi politik, jalur hukum hanya bisa digunakan untuk mengobyektifkan suatu pilihan. Posisi hakim, dibanding pelaku politik praktis, jelas jauh beda. Hakim tidak dipilih oleh pihak tertentu karena ada pilihan di awal bahwa mereka akan mengambil putusan A, atau putusan B, sesuai dengan mandat pemilihnya. Hakim justru harus duduk dalam posisi netral dan tidak berpihak. Bagaimana caranya? Dari situ pula kemudian muncul dasar-dasar keterampilan yuridis, seperti bagaimana mengurai satu permasalahan, menemukan kepentingan yang berbenturan, serta mempertimbangkan berdasar legitimasi obyektif tertentu, bisa berupa ketentuan perundangan yang telah disepakati para pihak, nilai kemanfaatan bersama, dan sebagainya. Setidaknya, sampai saat ini, saya percaya bahwa fungsi hakim adalah menjadi mediator atau penengah dari kemungkinan adanya konflik (kepentingan) dalam masyarakat. Pada akhirnya, dasar legitimasinya adalah kemampuannya untuk mengobyektifkan suatu masalah atau memfasilitasi adanya pengambilan keputusan yang intersubyektif.

Kedua, dari sisi ekonomi, seorang hakim juga pada dasarnya (secara definisi) tak lebih mahir dari seorang ekonom. Kalaupun seorang hakim bisa menguasai perhitungan ekonomi dalam menemukan adanya nilai maslahat bersama – yang diasumsikan sesuatu yang obyektif, tetap bukan berarti dirinya seorang ahli kebijakan ekonomi makro yang bisa menghitung untung ruginya kebijakan dalam lingkup yang lebih luas.

Pendeknya, hakim bukan politisi, apalagi ekonom. Lalu, mengapa masalah berlatarbelakang politik dan berdasar perhitungan ekonomi dibawa ke hadapan hakim? Jawabannya mungkin bisa macam-macam, tetapi inti masalahnya adalah masih ada ketidakpuasan berbagai pihak, atas keputusan politik yang telah dibuat terkait penentuan harga BBM ini. Dan.. hei! Bukannya Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan bahwa penentuan harga sesuai mekanisme pasar itu inkonstitusional? Akankah keputusan ini akan diterima oleh mayoritas hakim konstitusi juga? Selanjutnya, karena memang salah satu tugas Mahkamah Konstitusi adalah melindungi hak-hak konstitusional warga negara – yang dalam prakteknya bahkan jika pelanggaran itu masih bersifat potensial dan bukan hanya terbatas pada pemulihan hak tertentu, tentu tak ada alasan untuk menolak warga negara yang menganggap haknya dilanggar.

Karena kondisi di atas, mungkin pilihan paling bijaksana adalah menyatakan permohonan seperti itu tidak dapat diterima, karena alasan “political questions” (permasalahan pilihan kebijakan), seperti praktek di banyak negara lain. Mengingat, hakim sebenarnya memiliki legitimasi lemah untuk memutus suatu hal yang telah ditetapkan menjadi kewenangan cabang kekuasaan lain, serta – dan ini yang terpenting – hakim toh akan kesulitan juga menemukan dasar obyektif untuk benar-benar menyatakan pilihan apa yang harus diambil. Mengapa, katakanlah, pengurangan subsidi 2000 lebih dapat diterima dari pengurangan subsidi 1500? Atau, misalnya, mengapa bukan belanja pegawai yang dikurangi, tetapi subsidi BBM? Dengan dasar apa hakim akan menjawab hal tersebut, tanpa menggunakan penilaiannya sendiri?

Sayangnya, dalam kasus ini, Mahkamah Konstitusi akan sulit menghindar. Mengapa? Karena, meskipun masih secara umum, sebelumnya Mahkamah Konstitusi juga telah menguji pilihan kebijakan semacam ini, ketika mengatakan bahwa pengaturan harga BBM tidak boleh mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan sebatas menyangkut golongan tertentu. Bukannya artinya Mahkamah Konstitusi telah menggariskan pula apa yang seharusnya pembuat kebijakan lakukan? Meskipun, tentu, seperti sudah disebutkan sebelumnya, hakim akan kesulitan juga untuk memformulasikan bagaimana seharusnya. Bisa dilihat juga dalam putusan tersebut, bahwa pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan penentuan harga BBM ditetapkan oleh Pemerintah dengan “memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Artinya, Mahkamah Konstitusi membolehkan pula adanya pertimbangan berdasar mekanisme persaingan usaha (awam dipahami sebagai “mekanisme pasar”), meskipun tidak boleh dijadikan pertimbangan utama. Bagaimanapun, putusan Mahkamah Konstitusi ini, pada akhirnya membuka ruang bahwa hakim, berbeda dengan kondisi ideal, pada akhirnya toh melakukan penilaian pilihan kebijakan, meskipun secara umum dan sangat terbatas – Mahkamah Konstitusi tidak, dan dalam pandangan saya juga tidak akan bisa, menentukan bagaimana konkritnya penentuan harga itu harus dilakukan.

Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 (halaman 227-228)

“Para Pemohon mendalilkan, sebagai akibat diserahkannya harga minyak dan gas bumi kepada mekanisme persaingan usaha, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (2) undang-undang a quo, di samping akan menimbulkan perbedaan harga antar daerah/pulau yang, menurut Para Pemohon, dapat memicu disintegrasi bangsa dan kecemburuan sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di setiap negara di mana Pemerinah ikut mengatur harga BBM sesuai dengan kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara, karena komoditas BBM tidak termasuk dalam agenda WTO. Terhadap dalil Para Pemohon dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar. Pasal 28 ayat (2) dan (3) undang-undang a quo mengutamakan mekanisme persaingan dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah. Menurut Mahkamah, seharusnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Oleh karena itu Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;”

Celah yang terbuka dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menurut pandangan saya, membuat Mahkamah Konstitusi akan kesulitan menggunakan alasan “political questions” (permasalahan pilihan kebijakan) untuk menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Seperti kita ketahui, kemungkinan besar akan diajukan permohonan terhadap kebijakan yang mengatur penentuan harga BBM. Dalam Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012, ditentukan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya, apabila dalam kurun waktu 6 bulan terakhir ada kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen. Kemungkinan besar yang dipermasalahkan adalah dasar penentuan kebijakan yang mengacu pada naik turunnya harga tersebut (awam dipahami sebagai “mekanisme pasar”). Tentu akan sulit diterima, bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat menerima permohonan untuk menguji pilihan kebijakan yang mengacu pada “mekanisme pasar” tersebut, sedang sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah mengutak-atik pilihan kebijakan yang mengacu pada “mekanisme pasar”.

Pasal 7 ayat 6a UU APBN-P 2012

“Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.”

Meskipun permohonan dapat diterima, menurut pendapat saya, belum tentu permohonan tersebut akan dikabulkan. Justru sebaliknya, dalam pemahaman saya, justru permohonan tersebut akan ditolak.

Pertama, kalau alasannya ada kewenangan yang tidak jelas diatur, yaitu apakah pemerintah (eksekutif) berwenangan untuk menentukan harga BBM, putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menjawab dengan lugas. Penentuan tersebut memang menjadi kewenangan pemerintah. Artinya, kalau mau jujur, adanya larangan pemerintah untuk menetapkan harga BBM tersebut (Pasal 7 ayat 6 UU APBN-P 2012) justru yang tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.

Kedua, jika yang dijadikan dasar pembatalan adalah adanya pertimbangan naik turunnya harga minyak di pasar dunia (awam dipahami sebagai “mekanisme pasar”), meskipun konteksnya sebenarnya lain dengan putusan Mahkamah Konstitusi – yang merujuk ke pasar dalam negeri, tidak ada larangan penggunaan acuan tersebut sebagai dasar penentuan kebijakan. Faktanya, suka atau tidak suka, pemerintah akan terikat pada kondisi pasar dunia. Kalau pertanyaannya kemudian, mengapa tidak pilihan kebijakan fiskal lain yang diambil – selain menurunkan subsidi BBM, saya pikir hakim juga bukan berarti bisa punya jawaban yang lebih baik.

Apa dasarnya menentukan satu mata anggaran, misalnya, lebih bisa dijadikan prioritas ketimbang yang lain? Idealnya, keadaan ini akan membuat hakim seharusnya menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima, tetapi karena toh sebelumnya Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan poin terkait pilihan kebijakan ini, maka saat ini Mahkamah Konstitusi semestinya meluruskan kembali putusannya itu. Menafsirkan dengan lugas bahwa untuk penilaian kebijakan apa yang akan digunakan, serta bagaimana perhitungannya, adalah wilayah pembuat kebijakan. Selama tidak ada pelanggaran hak konstitusional, maka sesungguhnya hakim tidak punya kewenangan, serta toh tidak bisa menetapkan secara obyektif juga, bagaimana kebijakan itu semestinya diambil.

Baik argumen “demokrasi ekonomi” untuk “menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” sesuai Pasal 33 ayat (4), maupun ketidakpastian hukum sesuai Pasal 28D ayat (1), pada akhirnya, sebagaimana pernah diputuskan sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi (lihat Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 di atas), secara hukum telah diatur sebagai kewenangan pemerintah. Bagaimana pilihan kebijakan yang diambil, pada akhirnya menjadi wilayah politik cabang kekuasaan eksekutif, yang tidak bisa diterobos oleh kekuasaan yudikatif. Bukan soal mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, tetapi kalaupun Mahkamah Konstitusi, katakanlah, kembali akan mencampuri hal tersebut, yang jadi pertanyaan, dasar apa yang akan dipakai oleh Mahkamah Konstitusi? Dapatkah menghitungnya tanpa mencampuri kewenangan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah, serta kemudian diterima oleh DPR? Bukan hanya sekali, dalam kondisi seperti ini, Mahkamah Konstitusi akan berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki eksekutif “telah diuji secara obyektif” oleh DPR. Dengan kata lain, balik ke bahasa jargon hukum, ada permasalahan pilihan kebijakan (“political questions”).

Pasal 33 ayat (4) UUD 1945

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Bagaimanapun, kondisi ini membuat Mahkamah Konstitusi tertarik ke dalam pusaran wilayah politik, meskipun itu terjadi karena adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi sendiri. Selanjutnya, dilema besar harus dihadapi, antara menjadi Mahkamah yang memuaskan tuntutan masyarakat, atau menyuarakan apa adanya permasalahan hukumnya (hukum tata negara). Skenario putusan seperti saya ungkapkan di atas, mungkin tidak akan populis dan tetap akan menimbulkan kritik, tetapi secara hukum memang hanya itu yang bisa diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pada kenyataannya, kalaupun Mahkamah hendak menguji pilihan kebijakan yang telah diambil – dan nantinya juga masih akan diukur dan ditetapkan lagi itu, bagaimana mengukurnya? Akan sulit bagi Mahkamah Konstitusi, misalnya, menentukan bahwa 5% lebih baik dari 10%, atau menentukan bahwa kondisi itu tercapai di bulan agustus atau september, dan sebagainya.

Yang bisa dipastikan di sini, hanya siapa yang berwenang/bertanggungjawab atas itu (telah ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya bahwa itu Pemerintah, sebagaimana diatur dalam ayat 6a itu juga), serta bagaimana penentuannya – yang pada dasarnya akan dijalankan oleh pihak tersebut sesuai prinsip “demokrasi ekonomi” (dalam hal ini telah ada ketentuan yang telah melalui pembahasan di DPR juga – bahkan kalau Pemerintah mengubah sendiri, itupun sebenarnya sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya). Ruang menilai Mahkamah Konstitusi memang kenyataannya terbatas. Tetapi, sudah menjadi tugas hakim untuk memutus, bukan?

Tinggalkan komentar

Filed under Konstitusi

Tinggalkan komentar