Pembunuhan X Maut?

Kembali soal kecelakaan tragis X maut. Pertanyaan yang berkembang setelah terjadinya kecelakaan tersebut, terkait ancaman pidana yang tepat bagi penabrak atau pengendara. Tentu, bisa diperdebatkan bagaimana idealnya hukuman itu, lepas dari tindakan yang diambil oleh pihak yang berwajib. Namun kenyataan di lapangan, tindak pidana yang akan didakwakan pada pengendara oleh jaksa, pada dasarnya bersumber dari sumber hukum (positif) yang saat ini berlaku. Karena itu pula, pada akhirnya ketentuan yang kemudian dianggap adil ataupun tidak itu, tak akan lepas dari hukum positif. Setidaknya dari premis yang diambil berdasarkan hukum positif. Tapi apa sebenarnya kata hukum positif?

Dari beberapa media yang  memberitakan mengenai ancaman hukuman kepada pelaku, berdasarkan keterangan dari pihak kepolisian, lahir perdebatan mengenai mungkin tidaknya pengendara tersebut dijerat dengan pasal pembunuhan. Benarkah pelaku dapat dijerat dengan pasal pembunuhan? Ada baiknya kita buka KUHP.

Pasal 359
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 359 dan Pasal 338 tersebut di atas, mempunyai suatu kesamaan, yaitu hilangnya nyawa orang lain. Namun demikian, terdapat juga perbedaan mendasar yang pada akhirnya mempengaruhi berat ringannya ancaman hukuman, yaitu bagaimana perbuatan itu dilakukan. Apabila seseorang dengan sengaja melakukan perbuatan itu, maka hukumannya lebih berat ketimbang apabila seseorang karena kelalaiannya menyebabkan kematian seseorang. Masuk akal, karena kalau yang satu perbuatan itu telah jahat dari niatnya (membunuh), sedang perbuatan lainnya hanya merupakan akibat, bukan niat. Artinya, dalam pembunuhan, seseorang melakukan dengan penuh niat dan mengetahui akibat dari perbuatan itu, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.

Perbedaan antara adanya niat dan mengetahui akibat yang akan ditimbulkan ini, tampaknya, cukup jelas secara teori. Namun, dalam prakteknya, ternyata tidak sesederhana itu. Hal ini terjadi, antara lain karena adanya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas tragis yang disebabkan oleh perbuatan pengendara yang konyol. Kurang lebih seperti kasus kecelakaan tragis X maut ini.

Dalam situasi-situasi yang demikian, timbul pertanyaan mengenai unsur kesengajaan pengendara. Benarkah pengendara yang konyol itu (baca: mabuk dan mengendara dengan ugal-ugalan di jalan yang padat pejalan kaki), tidak berniat dan tahu akibat dari perbuatannya adalah hilangnya nyawa orang lain? Atau mungkin, seperti kasus sebelumnya, tidakkah sopir yang konyol itu (baca: menutup pintu minibus yang berpenumpang penuh), tidak berniat dan tahu akibat dari perbuatannya adalah hilangnya nyawa para penumpangnya?

Sehingga, pada prakteknya kemudian, terselip unsur baru di antara kelalaian dan kesengajaan. Hal ini ada hubungannya dengan penggunaan standar obyektif, di mana setiap orang di dalam masyarakat, terkait dengan situasi tertentu, diharapkan bertindak sebagaimana mestinya dalam situasi seperti itu. Ada semacam anggapan bahwa mustahil seseorang tidak mengetahui akibat-akibat dari suatu perbuatan tertentu itu. Apalagi kalau tindakannya sangat konyol dan akibatnya sangat tragis. Pendeknya, dalam kasus-kasus kecelakaan yang berakibat kematian, kemudian dikenal pula apa yang dinamakan kesengajaan sebagai suatu kemungkinan (dolus eventualis/voorwaardelijk opzet). Dalam hal pengendara dapat dianggap mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya itu adalah hilangnya nyawa orang lain, maka dia dapat dianggap sengaja merampas nyawa orang lain. Tapi perlu dicatat juga, kalau yang digunakan kriteria obyektif, harus diukur secara obyektif pula hubungan sebab akibat antara hilangnya nyawa dengan perbuatan konyol terkait. Tindakan menyetir mabuk dan ugal-ugalan, misalnya, memang tindakan tak bertanggungjawab dan membahayakan orang lain. Tapi apa akan selalu berakibat meninggalnya seseorang? Belum tentu. Dengan demikian, pada prakteknya, hakim yang kemudian menilai apakah dalam suatu kasus terdapat kesengajaan sebagai suatu kemungkinan itu.

Sehubungan dengan hal ini, ada pelajaran menarik dari yurisprudensi di Belanda. Ada dua kasus yang mungkin bisa menunjukkan secara kontras beda antara ada atau tidaknya niatan dan pengetahuan pelaku.

Kasus pertama terjadi pada tahun 1996, dikenal dengan nama “Putusan Porsche” (HR 15-10-1996, NJ 1997, 199). Seorang pengemudi Porsche 928 yang baru minum beberapa gelas bir bersama temannya di sebuah kafe, memacu mobilnya melebihi dengan kecepatan tak kurang dari 120 km/jam, di jalan yang normalnya hanya diperbolehkan 80 km/jam. Untuk diketahui, jalan-jalan seperti itu biasanya hanya terdiri dari dua jalur. Setelah pengendara itu mengabaikan beberapa lampu merah dan beberapa kali mendahului mobil-mobil lain, dalam satu upaya mendahului yang beberapa kali dilakukan, terjadilah petaka itu. Mobilnya menghantam mobil dari arah sebaliknya. Lima orang meninggal, termasuk satu orang dalam mobil itu sendiri. Jaksa mendakwakan terdapat kesengajaan sebagai suatu kemungkinan, melihat situasinya pengendara tersebut mabuk dan mengendara dengan ugal-ugalan. Seharusnya dia tahu akibat perbuatannya itu. Pengacara terdakwa beranggapan bahwa dalam hal ini tak ada unsur kesengajaan, bahkan kesengajaan sebagai suatu kemungkinan sekalipun.  Apa kata Hoge Raad? Setelah melalui pemeriksaan ulang di pengadilan tinggi yang lain, pada akhirnya Hoge Raad memutuskan bahwa dalam hal ini tidak terdapat kesengajaan itu. Apa alasannya? Alasan mendasar, terletak pada fakta-fakta kasus terkait, di mana pengendara sebelum terjadinya tabrakan telah berkali-kali mencoba mendahului, namun diurungkan. Hal tersebut setidaknya meyakinkan para hakim bahwa, dalam hal ini, tidak ada niatan dari pengendara untuk menabrak mobil dari arah sebaliknya yang berakibat timbulnya korban jiwa itu.

Kondisi berbeda terjadi dalam kasus yang terjadi kemudian, yaitu apa yang terkenal sebagai “Putusan Pembunuhan Enkhuizer” (HR 23-01-2001, NJ 2001, 327). Situasinya mirip, tetapi memang ada beberapa hal yang berbeda. Seorang pengendara mabuk melaju kencang, dalam hal ini menghindari razia polisi, menerobos jalanan dalam kota Enkhuizen. Jalanan yang normalnya hanya boleh dilalui dengan kecepatan maksimum 50 km/jam itu, diterobosnya dengan kecepatan tinggi. Parahnya, saat itu adalah akhir minggu, di mana bisa dipastikan keadaannya ramai. Terlebih, selain lampu pengendara yang redup, hanya terdapat lampu penerangan ala kadarnya di situ. Apa yang kemudian terjadi? Pengendara itu menghantam tiga pengendara sepeda. Satu demi satu tertabrak, di mana pada setiap tabrakan pengendara itu ternyata tetap menginjak pedal gasnya. Tiga orang meninggal dengan tragis. Apa kata Hoge Raad? Dalam kasus ini Hoge Raad menolak permohonan kasasi dan sependapat dengan pengadilan tinggi, bahwa terdapat kesengajaan sebagai suatu kemungkinan. Dengan perbuatannya, pengendara dianggap secara sadar telah menerima segala akibat yang akan ditimbulkan. Pengadilan tinggi menyatakan bahwa pengendara itu sengaja merampas nyawa tiga orang pengendara sepeda.

Apa yang bisa dipelajari dari kasus-kasus di atas? Pada prinsipnya, penilaian hakim atas fakta menjadi penting dalam menilai apakah telah ada kesengajaan sebagai suatu kemungkinan. Apa yang bisa disimpulkan secara garis besar dari penilaian fakta itu? Pada prinsipnya, dengan melakukan perbuatan itu, pengendara yang mabuk dan ugal-ugalan dapat dianggap sengaja menerima adanya akibat hilangnya nyawa pengguna jalan lain. Namun, bukannya tanpa perkecualian. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pengendara sebenarnya telah berusaha untuk menghindari terjadinya kecelakaan itu, walaupun kemudian terjadi kecelakaan tragis, dapat digunakan untuk meyakinkan hakim bahwa  tidak ada kesengajaan untuk menghilangkan nyawa pengguna jalan lain.

Perbandingan dengan perkara sopir minibus yang masuk sungai dalam suatu kecelakaan yang terjadi pada tahun 1994, sebenarnya juga menarik untuk menguji unsur-unsur tersebut di atas. Sayangnya, saya belum baca pertimbangan hakim dalam putusan itu. Namun demikian, menurut pendapat saya, pertanyaan yang dalam hal ini seharusnya terlebih dahulu diajukan: benarkah perdebatan penggunaan pasal pembunuhan itu masih relevan?

Beberapa pendapat yang berkembang menyebutkan adanya putusan Mahkamah Agung terkait hal itu. Dalam kasus kecelakaan lalu lintas, tidak tertutup kemungkinan penabraknya dijerat dengan pasal pembunuhan. Begitu setidaknya pendapat Mahkamah Agung terkait kecelakaan yang terjadi di tahun 1994. Mirip dengan pertimbangan Hoge Raad di atas. Tapi, menurut pendapat saya, penting juga untuk mempertimbangkan kapan peristiwa itu terjadi. Perlu diingat bahwa pada tahun 1994 itu, masih berlaku UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang lama. Adanya kecenderungan untuk menggunakan pasal KUHP, sedikit banyak dipengaruhi oleh minimnya aturan pidana terkait kecelakaan lalu lintas. Bahkan, kalau dilihat pasal-pasal dalam UU No. 14/1992, pendekatannya lebih ke ganti rugi pihak penabrak. Tapi, di tahun 2012 ini, masihkah sama situasinya?

Kalau melihat polisi yang juga menggunakan ketentuan dalam UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tentunya mereka menyadari perubahan ini. Apakah mereka juga menyadari latar belakang adanya perubahan itu? Saya tidak tahu. Yang pasti, penjelasan undang-undang terkait, telah menyebutkan juga “efek jera bagi pelaku pelanggaran [berat dan terdapat unsur kesengajaan, red.] dengan tidak terlalu membebani masyarakat”. Begitu menurut undang-undang.

Bagaimanapun, kalau kita mau mencermati lebih lanjut perdebatan tentang kesengajaan sebagai suatu kemungkinan yang berada di antara kelalaian dan kesengajaan ini, dalam konteks UU No. 22/2009, situasinya lebih sederhana. UU Lalu Lintas dan Jalan Raya sendiri membedakan antara Pasal 310, yaitu  kecelakaan “karena  kelalaian” pengendara, dengan Pasal 311 di mana ada kesengajaan “dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang” yang mengakibatkan terjadinya suatu kecelakaan.

Apabila mengakibatkan kematian, ancaman hukuman Pasal 310 itu maksimal 6 tahun, sedang ancaman hukuman Pasal 311 itu 12 tahun. Pasal 310 UU Lalu Lintas dan Jalan Raya itu lebih berat dari kelalaian yang menyebabkan kematian pada umumnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 359 KUHP. Selain itu, juga tetap ada perbedaan antara Pasal 311 UU Lalu Lintas dan Jalan Raya dengan Pasal 338 KUHP, yaitu derajat kesengajaan yang menyebabkan beban pembuktian jaksa terkait Pasal 311 UU Lalu Lintas dan Jalan Raya ini menjadi lebih ringan dari beban pembuktian terkait Pasal 338 KUHP.

Untuk memenuhi unsur kesengajaan, terkait dengan Pasal 338 KUHP, harus dibuktikan fakta-fakta yang menunjukkan pengendara memang berniat dan mengetahui dirinya merampas nyawa orang lain. Bagaimana persisnya? Situasi pada waktu terjadinya kecelakaan itu kuncinya. Penilaiannya bisa berbeda dari kasus ke kasus, seperti sudah dijelaskan tadi.  Intinya, melihat perbuatan pelaku sendiri pada saat terjadinya kecelakaan, terbuka ruang bagi kesengajaan sebagai suatu kemungkinan, yaitu penerimaan atas akibat tragis yang kemudian terjadi. Namun, bagaimanapun juga, kalaupun seseorang yang tengah mabuk dan mengendara dengan ugal-ugalan, belum tentu dirinya berniat dan mengetahui bahwa tindakannya itu akan merampas nyawa orang lain. Dalam hal ini, ruang bagi advokat untuk mengajukan pembelaan sebenarnya cukup terbuka.

Sementara itu, untuk memenuhi Pasal 311 UU Lalu Lintas dan Jalan Raya, pada prinsipnya jaksa cukup membuktikan bahwa terdakwa mengendara “dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang”. Boleh dibilang, aturan dalam UU Lalu Lintas dan Jalan Raya ini, entah disadari atau tidak, telah mengkodifikasi bentuk kesengajaan sebagai suatu kemungkinan dalam kasus-kasus kecelakaan. Jaksa tidak terikat untuk menunjukkan bahwa di situ ada niatan atau pengetahuan terampasnya nyawa orang lain. Yang perlu ditunjukkan adalah bahwa terdakwa telah sengaja mengemudi dengan cara atau keadaan yang membahayakan nyawa. Apakah harus ada hubungan langsung antara niat terdakwa dengan akibat yang nyata (hilangnya nyawa seseorang) itu? Bukankah bisa saja dia masih mencoba mengerem atau mengarahkan mobilnya dengan sedemikian rupa? Dalam hal ini, keadaan itu tak lagi relevan. Keadaan yang membahayakan itu sendiri telah memenuhi unsur Pasal 311 UU Lalu Lintas dan Jalan Raya tersebut. Secara teknis pembuktian, beban jaksa tentu lebih ringan dari Pasal 338 KUHP. Atau dengan kata lain, ruang pembelaan bagi terdakwa lebih kecil, kalau tak bisa dibilang tertutup sama sekali.

Tapi apakah hukuman 12 tahun itu cukup setimpal? Jujur, terkait hal ini, saya tidak tertarik untuk membahasnya lebih lanjut tanpa membandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain. Dan tentu saja, terkait adilnya berat ringannya hukuman itu, sulit untuk mengukurnya secara obyektif hanya dengan satu kasus X maut ini saja..

4 Komentar

Filed under Pidana

4 responses to “Pembunuhan X Maut?

  1. bedjo

    hanya ingin tau aja,,, saat kapan diakatakan “lalai” dan saat kapan dikatakan “sengaja”.. mngingat tidak ada tolak ukur atas sebuah “kelalaian”..

  2. nasima

    @bedjo: perbedaan mendasar “sengaja” dan “lalai” itu pada niat dan pengetahuan pelaku. kalau pelaku berniat dan mengetahui betul (akibat) perbuatan yang dilakukannya, maka itu pasti bisa dibilang sengaja. sedang “lalai” itu apabila tidak ada niatan dan pengetahuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, tetapi terdapat kemungkinan (resiko) terjadinya akibat dari perbuatan itu. jadi, bisa saja pelaku tidak berniat dan mengetahui (akibat) perbuatannya, tetapi dia tetap bertanggungjawab untuk hal (kemungkinan) yang semestinya dia ketahui bakal terjadi. apa yang semestinya diketahui ini yang kemudian, pada prakteknya, membuat penilaian hakim dalam kasus konkrit jadi berperan. jadi, balik ke pertanyaan anda, apa tolak ukurnya? menurut pendapat saya, harus dilihat seberapa besar resiko yang ditimbulkan suatu perbuatan. pertanggungjawaban atas tindakan mengendara “dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang” sendiri, telah ditetapkan dalam undang-undang. kriteria itu merupakan penjelas unsur “lalai” dalam kasus-kasus kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal, dalam arti pengendara semestinya bisa dianggap mengetahui (kemungkinan adanya) akibat dari perbuatannya apabila dia “mengendara dengan cara atau keadaan yang membahayakan”. lalu apa persisnya “cara atau keadaan yang membahayakan” itu? dalam hal ini kasus-kasus konkrit bisa memperjelas, misalnya, mengendara dengan muatan yang melebihi kapasitas (kasus Margomulyo).

  3. Tulisan dan pembahasan yg apik. Jaksa harus jeli memilah dakwaan, dalam perkembangannya jaksa di media menyatakan menerapkan pasal pembunuhan untuk perkara ini, apakah ada kesengajaan atau memang ada dakwaan alternatif, ini perlu kita pantau.

  4. Ping-balik: Tahun 2012: Perkara Narkotika, Ganti Rugi Pengelola Parkir, dan Kecelakaan Maut | Ars Aequi et Boni

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s